Nestapa di hari pendidikan nasional juga semakin menjadi, isu lama yang selalu berhembus yaitu “kesejahteraan tenaga pendidik” baik itu guru maupun dosen. Rasa-rasanya dulu semua kita kenal lagu lama yaitu “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Uniknya dizamannya lagu itu benar-benar dihayati. Atau sebuah lagu yang dibawakan oleh Iwan Fals yang melegenda itu “Oemar Bakri”.
Dulu tidak ada guru yang cemburu kalau anak didiknya “berhasil” dan “jadi orang”. Para guru pasti haru dan bangga mendengar muridnya sukses bahkan sering menjadikan bahan ceritanya di sekolah untuk contoh para junior-nya. Dan si murid pun biasanya “tahu diri” dengan tetap berkunjung dan bersujud dengan para gurunya. Perlakuannya biasanya sama dengan orang tuanya.
Sekarang, tunjangan sertifikasi, tunjangan guru, tunjangan dosen, dan lain-lain berbagai tunjangan lainnya, tetap terasa belum cukup dan memadai. Ternayata sepertinya para guru dan pendidik tidak pernah menyepakati arti perbedaan antara “keinginan” dengan “kebutuhan”. Aslinya adalah “GURU ADALAH MANUSIA”. Mereka juga butuh hidup layak dan sama dengan manusia lainnya.
Tidak ada lagi “pahlawan tanpa tanda jasa” dan tidak ada lagi “Oemar Bakri” yang selalu melegenda. Bahkan terkadang sang murid juga sering lupa siapa guru kimianya. Bahkan ada beberapa lulusan perguruan tinggi tidak pernah paham dan tahu siapa dosen yang mengajar serta mata kuliah apa yang pernah diambilnya di perguruan tinggi tersebut. Memalukan sekaligus menggelikan.
Mereka ini lah yang jadi pejabat publik dan melayani masyarakat yang ber-evolusi mental. Masyarakat pun ribut..., padahal mereka juga lah salah satu yang menjadi penyebabnya. Kasus Nur Ain Lubis yang dibunuh oleh Mahasisanya sendiri yang kemungkinan bermotif sepele seperti masalah diberi nilai buruk untuk salah satu mata kuliahnya (Sumatra Ekpres, 3 Mei 2016). Sang Dosen yang dikenal disiplin itu harus ditebas sedemikian rupa seperti meninggalkan dan menanggalkan peradaban kekinian yanhg katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral, berkarakter dan berbudaya. Kalau sudah begitu..”apanya yang berkarakter dan berbudaya”.
Sudah saatnya para guru kembali ber-“nurani” dan menjadi “Oemar Bakri” masa kini, biar bisa digugu dan ditiru. Walaupun kesejahteraannya tetap tidak boleh diabaikan, karena kita juga mafhum mereka juga manusia biasa. Terpenting adalah pendidikan dan pengajaran harus kembali ke khittah seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara : Ing Ngarsa sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani. Cukup lah nestapa berakhir di hari pendidikan nasional tahun ini. Tahun depan pasti datang dan kita sambut dengan semangat menantang dan membentang harapan dengan kalimat “jangan sekali-kali melupakan sejarah”.
Di akhir tulisan ini, insya allah mungkin ini bisa jadi renungan untuk para guru. Yang perlu diingat lirik lagu dari Sartono ini mudah-mudahan bisa kembali menggugah lagi :
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
---bangsa yang besar, bangsa yang menjadikan agama, pendidikan dan kebudayaan sebagai pondasi---
***fikrijamillubay, Mei 2016***