Membaca berita dibeberapa media akhir-akhir ini baik cetak maupun online. Ada berita yang menjadi headline, namun tidak sedikit juga yang menulis disudut kecil saja topik yang begitu penting untuk diketahui masyarakat banyak, yaitu Presiden Joko Widodo akan melakukan penghentian sementara (moratorium) izin tambang dan kebun sawit.
Tulisan yang mencolok itu seperti yang dituliskan di Kompas.com, hari kamis, tanggal 14 April 2016 dengan judul “Moratorium Tambang dan Sawit Gagasan Jokowi adalah Langkah Berani, Tetapi...”. Kompas.com pada hari itu juga menulis “Jokowi Akan Keluarkan Moratorium Lahan Sawit dan Tambang”.
Untuk para aktifis lingkungan tentu berita ini penting dan berani yang dilakukan oleh seorang Kepala Negara yang begitu tergantung dengan melimpahnya sumber daya alam, mineral, gas, minyak bumi termasuk juga batubara serta sawit yang jadi bahan baku utama minyak goreng dan lain-lain.
Mengapa berita ini penting dan sekaligus berani...?
Berita ini menjadi penting karena para pemangku kepentingan terutama para aktifis dan penggiat lingkungan menjadikan pemerintah sebagai bahan rujukan kebijakan untuk melakuan penyesuaian gerakan dalam mendorong keberpihakan banyak fihak terhadap keberlangsungan hidup lingkungan dan isi-isi yang menghuninya. Statement Pemerintah apalagi sekelas Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tentu menjadikan berita ini bukan berita biasa.
Berita ini bak air ditengah gurun sahara yang luas, dimana marginalisasi kebijakan yang selama ini faktanya selalu berfihak kepada para pemodal yang merusak lingkungan bukan lah cerita baru serta tabu di bumi Pertiwi yang notabene-nya menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33.
Berita ini tentu sangat tidak populer untuk orang-orang diseputaran Jokowi yang memiliki keinginan yang lain untuk mengubyah-uyah sumber daya alam milik anak cucu mereka juga. Berita ini juga menghapus keraguan banyak orang apakah Presiden Jokowi berani tegas terhadap para cukong atau mafia sumber daya alam Indonesia. Terkhusus cukong dan mafia batubara.
Penulis pernah menulis di Kompasiana pada tanggal 29 Maret 2016 dengan judul "Prabumulih, Kota yang Menolak Eksploitasi Tambang Batubara".
Tulisan itu begitu banyak mengundang tanya dari para sahabat/rekan-rekan aktifis lingkungan dan komunitas lain. Tetapi penulis tetap tegas bahwa perlu dilakukannya tidak hanya penghentian sementara izin tambang batubara, namun juga jangan sampai ada eksploitasi batubara terkhusus, Kota-Kota kecil seperti Kota Prabumulih Sumatera Selatan untuk selama-lamanya.
Tulisan itu mengingatkan kembali bahwa untuk hidup sejahtera tidak perlu dengan mengeksploitasi batubara. Sekarang bisa dilihat efek buruk eksploitasi batubara itu. Salah satu kabupaten ysng begitu gencar mengeksploitasi batubara mulai menikmati hasilnya. Pada Hari Minggu, tanggal 17 April 2016 yang lalu dilanda banjir bandang. Banjir itu bukan hanya banjir hidrostatik (naiknya permukaan sungai) tetapi juga membawa material seperti kayu lain-lain, dan daerah yang selama ini tidak pernah terjangkau banjir sekarang kebanjiran..
Logikanya adalah bila banjir bandang maka ada yang salah dengan daerah hulu sungai. Hulu sungai suda gundul. Jadi semakin benar re-planting terhadap lahan-lahan eksploitasi tambang batubara itu tidak pernah dilakukan. Hal ini diperparah dengan banyaknya tambang-tambang pribadi dan illegal milik masyarakat yang bisa menjual batubara dalam karung plastik. Artinya untuk membeli batubara, persis seperti membeli sembako saja.
Kita bisa menemui dengan mudah bila kita berjalan kearah hulu Jalan Lintas Tengah (Jalinteng) Sumatera setelah Kota Tanjung Enim. Dipinggir jalan banyak sekali didapatkan gundukan karung batubara yang dikumpulkan oleh masyarakat dan dijual kepada pembeli yang menggunakan mobil-mobil truk. Tidak ada regulasi sepertinya yang mengatur tentang itu. Batuabara itu ada yang diangkut ke Palembang dan ada juga yang diangkut ke Lampung. Kalau sudah begitu dimana lagi alasan batu bara menghasilkan devisa, batubara memberikan PAD untuk daerah penghasil, Batubara mendatangkan kesejahteraan masyarkat sekitar dan lain-lain sebagainya.
Moratorium tambang memberikan secercah harapan kepada generasi mendatang. Moratorium yang baik akan memberikan banyak efek terhadap pembangunan berkelanjutan, karena itu biar moratorium tambang bisa memberikan kemanfaatn yang banyak untuk keberlangsungan kehidupan perlu dilakukan segera :
1. Tabulasi ulang daerah penghasil bahan tambang. Tabulasi ulang daerah penghasil tambang diperlukan agar tidak ada lagi “rezim/dinasti beda data”, sebagaimana selalu terjadi selama ini bahwa penyajian data yang ada selalu berbeda-beda, tergantung kepentingannya apa. Sudahi semua itu dengan membuat dan menampilkan data apa adanya. Bila datanya sudah lengkap tentu cluster masalah akan sangat ditunjang oleh ketersediaan data itu. Pendekatan keputusan pun akan berbasis dari data yang sudah di veri-vali.
2. Evaluasi segera perusahaan tambang secara menyeluruh. Evaluasi terhadap perusahaan yang meliputi Izin tambang, keuntungan, kerugian, keuangan perusaahan, penggunaan tenaga kerja lokal dan asing, Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan sekitar terutama bagaimana dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan.
3. Evaluasi luas lahan pertambangan sesuai dengan izin yang diberikan. Ada rumor dan indikasi (dugaan kuat) dimasyarakat bahwa seringkali penyebab keribuatan pihak perusahaan dengan masyarakat sekitar adalah penyerobotan lahan (konflik agraria) milik masyarakat. Penyerobotan lahan masyarakat sangat terkait dengan luas lahan sesuai dengan izin pertambangan yang didapatkann oleh perusahaan. Tidak pernah ada sosialisasi yang transparan baik oleh perusahaan maupun oleh aparat pemerintah, berapa betul luas lahan perusahaan yang diizinkan. Kongkalingkong masa lalu itu harus disudahi segera. Seperti pesan Jokowi sendiri, lakukan dengan pendekatan IT, karena zaman sudah berubah.
4. Paparkan ke publik diportal kementerian ESDM hasil kajian dan evaluasi terhadap perusahaan yang bisa diakses langsung oleh masyarakat, khususnya masyarakat terdampak. Penyajian di Portal Kementerian ESDM merupakan indikasi sehat. Tidak ada dusta dan tidak ada informasi yang perlu ditutup-tutupi, sekaligus masyarakat bisa dididik dan menjadi pelopor untuk memonitor kegiatan perusahan dilingkungannya. Beri akses kepada masyarakat untuk mengakses sebesar-besarnya informasi tentang perusahaan ekploiter tambang yang beroperasi didaerah mereka. Sudahi juga rezim yang penuh ketertutupan itu.
5. Moratorium Tambang bila perlu dilakukan dalam jangka panjang/lama (minimal 20 tahun). Moratorium tambang bisa menimbulkan kemanfaatan yang banyak bila dilakukan. Selama masa itu perusahaan yang sudah mendapatkan izin dan sudah mengeksploitasi pertambangan diberikan kesempatan untuk mengelola dan memperbaiki lingkungan. Hutan dan tanah serta lingkungannya juga punya hak untuk “bernafas”. Dua puluh tahun mungkin belum lah cukup memulihkan hutan secara keseluruhan, namun kita sudah memberikan ruang kepada alam untuk berfungsi sesuai dengan fungsi normalnya.
6. Buat smelter yang tidak jauh dari lokasi tambang. Tidak ada alasan pembangunan smelter harus diluar lokasi tambang. Sehingal hasil tambang yang keluar tidak lagi bahan mentahnya tapi minimal sudah setengah jadi. Smelter tidak boleh dianggap barang mewah atau kegiatan rumit. Smelter adalah keharusan. Pemanfaatan penduduk lokal untuk menjadi tenaga kerja bisa me-linier-kan mereka dengan kesejahteraan. Sehingga mereka tidak menjadi penonton dan pengemis didaerahnya. Pembangunan dilakukan bukan untuk membuat alien (makhluk asing) dilokasi tambang.
7. Perlu adanya gugus pelaksana tugas evaluasi tambang. Gugus pelaksana tugas evaluasi tambang ini berisi perwakilan pemerintah, DPR, Aktifis dan aparat penegak hukum serta masyarakat terdampak. Tugas utama mereka adalah menjadikan daerah tambang tetap hijau dan sekaligus memastikan kegiatan pertambangan sesuai dengan prosedurnya. Lengkapi gugus tugas ini dengan ilmu peringatan dini atau Early Warning System (EWS) kegiatan pertambangan.
Kehidupan yang lebih baik itu berasal dari alam dan lingkungan yang sehat. Generasi penerus yang sehat juga sudah barang tentu berasal dari lingkungan yang sehat juga.
Hukum alam terkadang kita anggap kejam, pada hal alam sesungguhnya memberikan ruang kepada kita saling membantu dan menyantuni. Bila manusia tidak lagi peduli dengan mereka bahkan merusaknya, maka alam akan menghukumnya
Kodrat alam sesungguhnya tidak lah pernah pasrah. Mereka akan “ngamuk” yang melebihi “amuknya” manusia, bila kita tidak bisa memeliharanya. Sering kita tidak menyadari bahwa alam butuh uluran tangan kita terutama tangan penguasa.
Moratorium mungkin bukan lah satu-satunya solusi yang tepat untuk memulihkan lingkungan tambang, namun moratorium paling tidak memberikan kabar bahwa kita serius mengurus alam, serius bersahabat dengan alam dan serius mengurus dan mempersiapkan lingkungan untuk generasi mendatang.
*Prabumulih, 18 April 2016*
Fikri Jamil Lubay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H