By. FIKRI JAMIL LUBAY
Masih ingat dengan P-4. Seandainya orang-orang yang terlibat pada acara dahsyatnya RCTI adalah orang-orang yang pernah sekolah dizaman kami dahulu mungkin tidak akan pernah ada peristiwa buliyying terhadap artis Zaskia Goyang Itik (GOTIK). Si Gotik yang selalu menyebut dirinianya “Eneng” yang identik dengan simbol keluguan, lebih ndeso namun sering sekali melakukan kekonyolan termasuk menggoyang sila kelima dengan pantatnya. Dia tidak tahu apa, sesungguhnya “pantat”-lah merupakan anggota tubuh (tempat) yang sering menjadi sumber masalah.
Zaskia Gotik atau juga yang lainnya mungkin adalah salah satu orang dari kebanyakan rakyat Indonesia kekinian yang mengenal Pancasila secara dangkal. Jangankan ingat dengan lambang yang mewakili sila ke-5 dari Pancasila, namun juga jangan-jangan dia tidak hapal diluar kepala secara berurutan dengan isi kelima sila didalam Pancasila.
Pancasila yang dilahirkan melalui perdebatan panjang yang disampaikan oleh Pendiri-Pendiri Bangsa merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Pancasila adalah dasar negara yang memiliki sifat kemurnian mendasar sebagai perwakilan kehidupan bermasyarakat, bernagsa dan bernegara. Sehingga Pancasila oleh Bung Karno dan kawan-kawan disebutkan memiliki arti penting dan lahir secara tidak serta-merta dan tidak sembarangan, karena Pancasila lahir dari akar kehidupan rakyat Indonesia dari Sabang Sampai-Merauke, Dari Timur ke Barat, Dari Utara Keselatan dan dari Darat Ke Lautan. Sisipan awal Pancasila oleh beberapa tokoh Islam yang radikal yang ingin menyisipkan kata-kata “Islam” disila pertama menjadi perdebatan hangat saat itu. Namun dengan semangat kebersatuan, kepiawaian, kenegarawanan yang matang menjadikan sila pertama pancasila “cukup” berakhir dengan...”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Intinya adalah “ Pancasila dilahirkan dari perut bumi pertiwi indonesia dan tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain didunia”.
Hal itu menunjukkan bahwa betapa tokoh-tokoh negara pada saat itu seperti Ir. Soekarno, Mr. Kasman Singodemedjo, Husni Thamrin, Mr. M. Yamin, M. Moch. Hatta dan tokoh-tokoh lain bisa membuat suasana bangsa yang baru saja merdeka melahirkan tuntunan sekaligus pedoman yang tidak lekang oleh zaman. Mereka adalah pejuang sekaligus pujangga bangsa yang sulit dicarikan tandingannya pada saat ini.
Mengapa Gotik bisa menggoyang Pancasila..?
Pancasila yang lahir dari sumbu-sumbu dan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia yang menjadi falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak hanya bisa difahami secara marginal dalam lafalnya saja dari Sila kesatu sampai sila kelima. Sama dengan ummat Islam, Ummat Islam tidak hanya dituntut hanya bisa membaca al-qur’an saja, namun juga harus tahu arti dan maknanya. Karena tanpa itu mustahil untuk mengamalkannya. Pancasila pun demikian. Walaupun Pancasila buatan manusia, namun sesungguhnya Tuhan telah menitipkan Pancasila kepada orang-orang yang memilki pemikiran arif nan cerdas pada saat itu untuk ditafsirkan kedalam kehidupan manusia Indonesia. Itu berkah-Nya Allah, SWT. Tidak terkecuali kepada Zaskia Gotik dan teman-temannya serta yang empunya tayangan dahsyat serta KPI yang hampir selalu kecolongan.
Iya “kecolongan” atau bahkan kesengajaan karena keterbiasaan. Seperti pepatah “Ala bisa karena biasa“, Mulut Mu Harimau Mu”. Zaskia Gotik sepertinya tidak pernah mendapatkan pembelajaran dan pemahaman yang baik dan mendalam serta komprehensif tentang Pancasila sehingga “membebek” saja dengan kemauan “Tuntunan” yang menjadikan “Tontonan” acara Dahsyat hari itu. Kedangkalan pemahaman bahkan ketidakpahaman itu menjadi sumber penyakit yang menjadi boomerang untuk Zaskia Gotik dan orang-orang yang terlibat diacara itu.
Apa yang bisa dipetik dari Kasus Zaskia Gotik..?
Menimpakan kesalahan kepada Zaskia Gotik semata tentu tidak lah bijak. Mempidanakan Zaskia Gotik sebagai efek jera agar tidak mengulangi lagi perbuatannya mungkin bisa memuaskan sebagian atau bahkan banyak fihak dinegeri ini. Namun kita lupa bahwa Zaskia Gotik juga telah memberikan pembelajaran teramat berharga untuk bangsa kita yaitu :
1. Rasa Nasionalisme anak bangsa masih ada;
Era modernisasi, teknologi informasi dan pasar bebas sesungguhnya telah menjadikan rerata bangsa di dunia (tidak hanya di Indonesia) menuhankan dunia. Dunia dianggap segalanya. “Duit” atau kekayaan serta kekuasaan menjadi simbol kehidupan masyarakat hedonis dan diadopsi ke kehidupan rumah tangga. Anak-anak tidak lagi kenal dengan tutur keluarga. Orang tua sudah pada sibuk mencari harta untuk ketujuh keturunan berikutnya. Tidak ditemukan lagi orang tua yang bercocok tanam seperti dulu menanam pohon duku dan durian dari biji yang berbuah tujuh bahkan sepuluh tahun kemudian. Bahkan mereka pun terkadang tidak lagi menikmatinya. Ketika ditanya buat apa mereka menanam pohon itu padahal umur mereka sudah 70 tahun. Mereka Cuma menjawab ringan “ untuk cucu-cucunya kelak”.
Orang tua saat ini sudah sangat mengidolakan kehidupan yang instan. Menjadikan anak-anak sebagai robot bahkan produser maksiat untuk anak-anaknya. Jangan kan kehidupan bernegara dan berbangsa, bahkan anak-anak tidak lagi diajarkan kehidupan berkeluarga.
Bangsa yang hedonis itu tinggal menunggu waktunya saja untuk hancur. Pembelajaran telah membuktikan betapa bangsa yang menuhankan dunia akan hancur. Ambil contoh Uni Sovyet yang menjadi negeri adidaya dan begitu kerbuasa yang menjadi perwakilan dan simbol Blok Timur paska perang dunia kedua. Atau tidak usah jauh-jauh Islam yang pernah jaya di Catalonia harus hancur karena nafsu dunia.
Gotik menjadikan perwakilan (gambaran umum) anak muda (walaupun tidak muda-muda amat) tentang pemahaman bernegara itu. Rasa nasionalisme begitu tipis sekali. Sialnya adalah Si Gotik merupakan figur publik yang bisa di contoh anak-anak muda yang nge-fans berat kepadanya. Khawatir sekali anak-anak muda yang nge-fans dengan Dia akan menjadikan Pancasila yang sangat dimartabatkan oleh bangsa ini sebagai kekonyolan-kekonyolan lainnya. Karena banyolan-banyolan ala selebriti sekarang sering sekali tidak bisa dipetik menjadi pembelajaran yang baik.
2. Tugas negara dan aparatnya masih minimal menjadikan warga negara paham tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Kasus Zaskia Gotik yang terjadi juga memberikan pembelajaran berharga bahwa betapa negara sering sekali telat hadir atau bahkan tidak hadir sama sekali terutama hadir ketengah-tengah tokoh yang difigurkan oleh publik. Banyolan dan lawakan yang tidak cerdas sering sekali dijumpai. Guyonan sekarang terlalu banyak menghina fisik seseorang seperti pendek, hitam, legam, monyong. Semua buatan Tuhan itu di”guyon”kan dengan ringan dan dinikmati oleh penonton tanpa pernah protes. Akibatnya menjadi kebiasaan.
Gotik juga telah memberikan pembelajaran bahwa tugas negara harus masuk ke arena itu. Kalau tidak ada bulliying atau orang-orang yang cermat mungkin semua akan lupa terhadap Guyonan Gotik termasuk Zaskia Gotik sendiri.
Apa yang bisa dilakukan agar kasus Zaskia Gotik tidak terulang...?
Inspirasi sekali dengan masa lalu yang pernah memberikan pendidikan Pancasila walaupun itu lahir dari orde yang tidak disukai yaitu “ Orde Baru”. Dulu kita untuk memulai masuk SMP, SMA atau bahkan kuliah di perguruan tinggi diberikan “penataran” atau pendidikan P-4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Penanaman pemahaman terhadap pancasila melalui penataran P-4 itu menuntut peserta tidak hanya hafal kelima sila tetapi juga Pancasila harus dipedomani, harus dihayati serta diamalkan. Sehinga Pancasila menjadi alat bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Walaupun momok “Orde Baru” saat itu begitu menjadikan rakyat “demam” untuk “kompak”, budaya bergotong royong yang terkesan dipaksakan. Namun rakyat tidak pernah merasa susah dengan semua itu. Saat itu bisa dipastikan kita tidak mungkin bablas mendengar banyolan konyol dari orang-orang seperti Zaskia Gotik.
Zaskia Gotik telah membuat kesalahan fatal yang tidak mencerminkan kehidupan yang baik karena yang diganggu adalah falsafah negara. Namun kesalahan tidak harus hanya ditanggung oleh Zaskia Gotik sendirian. Kasihan juga. Karena yang paling bertanggung jawab tentu adalah orang yang menghadirkannya dan orang yang punya acara itu. Atau bahkan acara itu sendiri. Ketidak mampuan KPI sepertinya paradoks dengan penanganan kasus Tukul Arwana di “Acara Bukan Empat Mata” yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta lainnya.
Semoga Pancasila tetap dapat hadir disanubari Rakyat Indonesia. Itu lah harga matinya...!!!!
Prabumulih *24032016*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H