Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Satu Lagi Tunjangan untuk Pejabat Pns

3 Maret 2016   13:14 Diperbarui: 3 Maret 2016   13:36 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

By. Fikri Jamil Lubay

Bolak-balik membaca beberapa literatur hasil kuliah ilmu jiwa 16 tahun yang lalu memberikan banyak inspirasi yang salah satu babnya berjudul “AFEK”. Manusia bisa tersenyum, tertawa, sedih dan berduka semuanya karena kita memiliki afek atau emosi. Emosi sebetulnya memiliki makna yang positif sekali karena sangat berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan kita sebagai makhluk ragawi.

Sesungguhnya emosi dan marah merupakan sesuatu yang sangat berbeda. Marah merupakan salah satu bagian dari emosi. Sama halnya dengan  rasa takut, benci dan kecewa serta manik-manik afek lainnya. Karena itu dari awal perlu sekali dibedakan antara marah dengan emosi. Contoh yang sangat kentara adalah persamaan yang sering disebut antara marah dengan emosi yaitu ketika kita menyebut levis untuk jeans, menyebut aqua untuk air mineral dan contoh-contoh sehari-hari lainnya.

Terus, mengapa kata “marah” sepertinya menjadi dominan dan idola untuk menyebut saya sedang “emosi”...?

Urusan sintaksis Bahasa Indonesia memang terkadang rumit. Bahasa Indonesia begitu majemuk menyebut akronim, sinonim, antonim, idiom, gaya bahasa serta sebutan lainnya yang menyebabkan penggunaan bahasa oleh “si penyebut” kata membutuhkan penjelasan pribadi yang juga menjadi sulit dimengerti dan difahami oleh orang kebanyakan. Alias multi tafsir Termasuk cerita “... PARA PEJABAT PNS MENERIMA TUNJANGAN YANG DISEBUT “TUNJANGAN MARAH”...

Ada-ada saja, usil punya usut ternyata berjam-jam memahami itu juga rumit walaupun tidak multi tafsir untuk saya yang baru belajar membaca dan menulis. Karena cukup diterjemahkan saja makna harfiahnya, maka tuntas sudah bahwa “TUNJANGAN MARAH” ya... berarti para pejabat PNS boleh marah dengan para staf karena sudah menerima “tunjangan”. Mau salah mau benar terserah, pokoknya marah saja. Kalau tidak marah bukan pejabat PNS. Karena kalau tidak marah, dipastikan kita tidak bekerja sebagai pejabat yang seharusnya.

Jadi raport kelayakan kita menjadi pejabat PNS cukup dinilai dari seberapa banyak marah dengan staf kita. Ah.. ringan sekali jadi pejabat PNS. Kalau lah ini benar artinya kita tidak perlu berbasa basi, tidak perlu “setor muko” seperti tulisan yang kemarin itu. Tidak perlu juga kita menghitung seberapa sakit rasanya staf kita yang kita marahi itu. Karena memang kita ditugaskan untuk “marah”.

Cerita tiga puluh tahun yang lampau atau tepatnya tahun 1986

Saat itu saya ingat betul saat masih kelas tiga Sekolah Dasar di sebuah pelosok desa di Lubay sana. Kami yang masih SD waktu itu diajar oleh seorang guru agama Islam dan setiap waktu kalau mau masuk ke kelas wajib hafal beberapa ayat-ayat al-qur’an yang sudah diajarkan. Beberapa murid tidak bisa menghafal dan saya sebagai murid waktu itu menjadi orang yang ditugaskan oleh guru agama tersebut untuk memegang mistar kayu yang panjangnya kurang lebih satu meter sebagai alat untuk memukul teman-teman karib saya yang tidak hafal.

Saya yang masih berumur sembilan tahun waktu itu,  pada saat pertama kali melakukan tugas yang tidak seharusnya ditugaskan. Saya begitu banyak mikir dan dengan penuh keterpaksaan tetap saya lakukan juga. Yang ada dibenak saya adalah, karena ini ditugaskan oleh guru jadi harus saya lakukan dengan senang hati. Ternyata yang terjadi kemudian adalah ada perasaan berontak karena sangat tidak masuk akal. Semalaman saya tidak bisa tidur dan terbayang dengan apa yang dirasakan oleh teman-teman saya satu kelas itu.

Keesokan harinya peristiwa yang sama terjadi lagi, anehnya tetap saya yang ditugaskan untuk memukul teman-teman yang tidak bisa menghafal sebagai pra syarat untuk masuk kelas. Dihari ketiga saya sengaja untuk tidak membaca hafalan dan semua murid ternyata tidak ada yang hafal tugas dari guru agama saya tersebut.

Dan, peritiwa yang unik terjadi yaitu guru agama tersebut kesulitan mencari anak untuk ditugaskan memukul kami-kami. Saya langsung mengambil inisiatif dan menyerahkan mistar kepada Pak guru agama tersebut agar memukul semua kami dan saya ingat betul berdiri paling depan untuk dipukul duluan. 

Semua kami sudah berbaris memanjang dan yang terjadi adalah Guru agama tersebut mempersilahkan kami semua untuk masuk ke kelas tanpa satu orang murid pun yang dipukul. Kami saling toleh kiri-kanan, depan-belakang. Susana begitu hening. Guru Agama yang suaranya terdengar berat dan berwibawa itu dan sungguh ditakuti oleh murid sekelas kami mulai membuka  pembelajaran dengan sebuah kisah Nabi Yunus, AS.

Membekas betul diingatan saya tentang Do’a Nabi Yunus ketika dimakan ikan hiu. Beliau berpesan bahwa  bahwa Allah itu baik. kita tidak boleh bersu’udhon dengan takdir Allah... dan yang diujung kalimat do’a itu “... inni kuntum minadholimin”...sesungguhnya saya yang zholim ya Allah...sesungguhnya Allah itu tidak dhalim. Manusia lah yang dhalim...

Semakin dalam ingatan saya dengan cerita “tidak nyambungnya” guru agama saya yang sempat menugaskan saya untuk memukul teman-teman karib saya. Membatin betul dalam ingatan betapa saya yang masih sangat kecil itu ditugaskan hal-hal yang begitu kejam, tidak perlu dan sialnya begitu membekas sampai hari ini sekedar untuk menyalurkan nafsu birahi duniawi dengan rasa marah yang tidak pantas.

Sembari membolak-balik buku pembelajaran ilmu jiwa di bangku kuliah dulu, saya baca tulisan tangan yang ada di textbook itu. Judulnya macam-macam “gangguan alam perasaan”, manik, depresi, manik-depresi, afek datar, afek tumpul dan afek megalomania. Terbayang betapa sulitnya menghibur pasien-pasien yang menderita gangguan jiwa dengan gangguan alam perasaan itu. Sepertinya wajah mereka berduka, menangis dan tiba-tiba saja cengar-cengir dan tertawa terbahak-bahak, entah apa yang dilihat. “parah...” saya bilang.

Membangun hubungan saling percaya dengan mereka begitu menjadi tantangan tersendiri dan kita sebagai perawat waktu itu harus lebih dalam masuk ke dunia mereka dengan tidak melupakan identitas diri. Komunikasi terapeutik pun menjadi alat. Hujatan dan umpatan pasien menjadi lelucon tersendiri. Kesabaran menjadi perilaku wajib yang diajarkan  dengan bahasa efektif dan fokus dalam berkomunikasi. Biar realita pasien dan realita kita berada dalam frekuensi yang sama untuk memudahkan komunikasi keduanya.

Hari-hari pun berlalu, tiba-tiba tidak ada angin dan tidak ada hujan kita diajarkan kembali cara “marah”. Padahal “marah” itu sudah masa lalu... ah terpaksa dianggap angin lalu saja sebagai lelucon birokrasi. Yang pasti baca saja Undang-Undang ASN itu... baik secara harfiah maupun multi tafsirnya tidak ditemukan kosa kata “TUNJANGAN MARAH...”.  itulah hasil bolak-balik “nomenklatur” yang menjadi “nomenkultur” di Undang-Undang Aparatur Sipil Negara di Negeri Kami.... mohon maaf kalo ada yang salah...

Tetapi itu lah leluconnya birokrasi sebagai Pegawai Negeri ...”TUNJANGAN MARAH”. Nanti pulang kerumah jangan sampai nular ke anak-anak dan istri... semuanya dimarahi karena kita mendapat “tunjangan marah” dan uangnya disetorkan ke istri dirumah. Jangan lupa itu...!!!

 

*prabumulih030316*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun