Dan, peritiwa yang unik terjadi yaitu guru agama tersebut kesulitan mencari anak untuk ditugaskan memukul kami-kami. Saya langsung mengambil inisiatif dan menyerahkan mistar kepada Pak guru agama tersebut agar memukul semua kami dan saya ingat betul berdiri paling depan untuk dipukul duluan.
Semua kami sudah berbaris memanjang dan yang terjadi adalah Guru agama tersebut mempersilahkan kami semua untuk masuk ke kelas tanpa satu orang murid pun yang dipukul. Kami saling toleh kiri-kanan, depan-belakang. Susana begitu hening. Guru Agama yang suaranya terdengar berat dan berwibawa itu dan sungguh ditakuti oleh murid sekelas kami mulai membuka pembelajaran dengan sebuah kisah Nabi Yunus, AS.
Membekas betul diingatan saya tentang Do’a Nabi Yunus ketika dimakan ikan hiu. Beliau berpesan bahwa bahwa Allah itu baik. kita tidak boleh bersu’udhon dengan takdir Allah... dan yang diujung kalimat do’a itu “... inni kuntum minadholimin”...sesungguhnya saya yang zholim ya Allah...sesungguhnya Allah itu tidak dhalim. Manusia lah yang dhalim...
Semakin dalam ingatan saya dengan cerita “tidak nyambungnya” guru agama saya yang sempat menugaskan saya untuk memukul teman-teman karib saya. Membatin betul dalam ingatan betapa saya yang masih sangat kecil itu ditugaskan hal-hal yang begitu kejam, tidak perlu dan sialnya begitu membekas sampai hari ini sekedar untuk menyalurkan nafsu birahi duniawi dengan rasa marah yang tidak pantas.
Sembari membolak-balik buku pembelajaran ilmu jiwa di bangku kuliah dulu, saya baca tulisan tangan yang ada di textbook itu. Judulnya macam-macam “gangguan alam perasaan”, manik, depresi, manik-depresi, afek datar, afek tumpul dan afek megalomania. Terbayang betapa sulitnya menghibur pasien-pasien yang menderita gangguan jiwa dengan gangguan alam perasaan itu. Sepertinya wajah mereka berduka, menangis dan tiba-tiba saja cengar-cengir dan tertawa terbahak-bahak, entah apa yang dilihat. “parah...” saya bilang.
Membangun hubungan saling percaya dengan mereka begitu menjadi tantangan tersendiri dan kita sebagai perawat waktu itu harus lebih dalam masuk ke dunia mereka dengan tidak melupakan identitas diri. Komunikasi terapeutik pun menjadi alat. Hujatan dan umpatan pasien menjadi lelucon tersendiri. Kesabaran menjadi perilaku wajib yang diajarkan dengan bahasa efektif dan fokus dalam berkomunikasi. Biar realita pasien dan realita kita berada dalam frekuensi yang sama untuk memudahkan komunikasi keduanya.
Hari-hari pun berlalu, tiba-tiba tidak ada angin dan tidak ada hujan kita diajarkan kembali cara “marah”. Padahal “marah” itu sudah masa lalu... ah terpaksa dianggap angin lalu saja sebagai lelucon birokrasi. Yang pasti baca saja Undang-Undang ASN itu... baik secara harfiah maupun multi tafsirnya tidak ditemukan kosa kata “TUNJANGAN MARAH...”. itulah hasil bolak-balik “nomenklatur” yang menjadi “nomenkultur” di Undang-Undang Aparatur Sipil Negara di Negeri Kami.... mohon maaf kalo ada yang salah...
Tetapi itu lah leluconnya birokrasi sebagai Pegawai Negeri ...”TUNJANGAN MARAH”. Nanti pulang kerumah jangan sampai nular ke anak-anak dan istri... semuanya dimarahi karena kita mendapat “tunjangan marah” dan uangnya disetorkan ke istri dirumah. Jangan lupa itu...!!!
*prabumulih030316*
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI