Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mafia dibalik Kebijakan Kantong Plastik Berbayar?

2 Maret 2016   08:32 Diperbarui: 2 Maret 2016   08:56 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


 By. FIKRI JAMIL LUBAY

Menelisik kebijakan pemerintah pusat yang dilakukan terbatas di 17 Kota  (termasuk Kota Palembang) untuk mengurangi produksi sampah berbahan plastik dengan menjadikan Kantong Plastik berbayar dan dibebankan kepada konsumen mengundang banyak pertanyaan dari beberapa komunitas di Indonesia, khususnya para pelaku bisnis dan masyarakat pengguna kantong kresek (kantong plastik) seperti KADIN Indonesia sebagaimana yang disampaikan Ketua KADIN Edi Ganefo kepada JPNN (Senin 29/2/2016).

Bila benar yang disampaikan oleh Ketua KADIN tersebut, berdasarkan hitungan KADIN ada perputaran uang yang sangat signifikan yaitu sekitar 20 trilyun rupiah yang beredar didalam bisnis kantong kresek, maka perlu perhatian serius dari para pengambil kebijakan dan Lembaga Konsumen (YLKI) serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk dapat bekerja lebih giat dalam melindungi konsumen.

Yang perlu diingat bahwa tujuan awal dari kantong plastik berbayar itu adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup karena sulitnya tanah untuk mengurai secara cepat bahan-bahan pembuat kantong plastik yang mengakibatkan ekosistem dalam suatu sistem ekologi mengalami gangguan. Akibat lanjutannya adalah bahan-bahan tersebut menjadi corpus alienum (benda asing) yang berbahaya dalam suatu siklus alam dan lingkungan menjadi rusak dan tidak bisa mendukung keberlanjutan kehidupan umat manusia. Kuncinya itu “tidak bisa mendukung kehidupan manusia”.

Terus, apa masalahnya dengan kantong plastik berbayar...? toh uang yang dikeluarkan untuk kencing saja sekitar Rp 1.000, - Rp 2.000,- sementara untuk kantong plastik itu “Cuma” bayar 200 – 500 rupiah seperti yang banyak digaungkan oleh Gubenur Ahok dan Kang Emil Walikota Bandung yang tidak berkeberatan dengan kebijakan kantong plastik berbayar.

“Pemikiran negatif” dari sebagian masyarakat pengguna dan pelaku bisnis yang kena imbas dari kebijakan kantong plastik berbayar sesungguhnya juga tidak perlu disalahartikan karena mereka termasuk kami-kami ini sering memertik pembelajaran dari kebijakan pemerintah dimasa lalu.  Sebagai mana banyak kebijakan yang kurang atau bahkan tidak serius yang diambil oleh pemerintah menjadikan masyarakat dihinggapi pemikiran negatif dan trauma serta apriori.

Sulitnya masyarakat membayangkan seorang Walikota Risma mampu menjadikan Lokalisasi Doli di Surabaya menjadi begitu humanis seperti sekarang adalah salah satunya. Dulu mana ada orang yang percaya dengan Walikota Risma bisa mengubah wajah Doli. Sekarang kebijakan yang tidak populer dari Walikota Risma itu bahkan menjadi rujukan banyak Walikota/Bupati/Gubernur di Bumi Pertiwi ini.

Senin, tanggal 29 Pebruari 2016, kita juga menyaksikan betapa Gubernur Ahok dibantu oleh seluruh elemen masyarakat dan alat negara (khususnya polisi dan TNI) bisa membebaskan Kalijodo yang terkenal itu dengan penuh kedamaian. Siapa bisa mengira bisnis yang banyak melibatkan oknum TNI dan Polri itu (seperti yang dilansir oleh Kapolda Metrojaya diberbagai media) serta para preman bisa diatasi dengan “cool” oleh Bung Ahok. Hitungan yang matang, cermat dan penuh ketegasan tanpa diikuti dengan kepentingan pribadi menjadikan Ahok dan Risma berhasil secara damai mengubah wajah-wajah yang “seram” itu menjadi begitu “humaniter”. Hal yang sama dilkakukan oleh Kang Emil di Kota Bandung yang terkenal sebelumnya sebagai “Kota Sampah” sekarang sudah kembali menjadi Kota Paris Van Java-nya Indonesia yang dirindukan oleh banyak orang. Bandung pun menguatkan Brand Image-nya sebagai “Kota Kenangan”.

Kembali ke kantong plastik berbayar. Praduga negatif banyak orang tentang kongkalingkong mafia berbisnis di bisnis yang mudah nan menggiurkan ini. Bisnis yang seksi sebagaimana hukum penawaran dan permintaan yang tidak membutuhkan upaya terlalu keras namun untungnya bejibun, karena kantong plastik pasti dibutuhkan oleh konsumen untuk membawa barang belanjaannya. Tidak mungkin orang belanja menenteng belanjaannya satu per satu atau membawa keluarga sebanyak-banyaknya untuk membawa barang belanjaannya yang over capacity. Sudah barang tentu kantong plastik tetap menjadi pilihan utama karena sulitnya alternatif lain.

Kalau sudah begitu pasti tujuan utama berkurangnya produksi sampah plastik yang berasal dari kantong plastik tidak akan terjadi. Tidak ada urusan dengan kantong plastik berbayar atau tidak. Untuk masyarakat pembeli apalagi yang sudah berbelanja di mall pasti punya modal yang cukup kalau sekedar untuk membeli kantong plastik.

Terus apa yang bisa dilakukan....?

Yang perlu diingat adalah, kantong plastik adalah “budaya” masyarakat dalam berbelanja. Bahkan ditulisan penulis di Kompasiana yang berjudul “asoy” berbayar, ke Mall Pakai Keruntung”  sudah dijelaskan kantong plastik bisa menjadi alat promosi yang murah bagi para produsen. Pembeli juga belum afdol rasanya kalau belum membawa kantong plastik sehabis belanja.

Artinya, memang keseriusan pengendalian dan kebijakan pemerintah didalam mengurangi atau bahkan memberantas penggunaan kantong plastik harus dari “hulu” yaitu dari produsen kantong plastik. Mungkin yang bisa dilakukan adalah pembatasan produksi dan pengendalian distribusi yang ketat dengan sistem quota. Uji petik penggunaan kantong plastik bisa dilakukan dipusat-pusat perbelanjaan dan pasar-pasar tradisional yang ada untuk menentukan peredaran kantong plastik sesuai dengan kebutuhan. Bila perlu bisa mencontoh produksi dan distribusi obat-obatan dan alat-alat farmasi. Kasih code-code tertentu berlabel dan berseri. Yang memudahkan pengendalian dan peredaran kantong plastik.

Jadi, kita tidak boleh cuma berfikir bagaimana masyarakat membayar untuk sebuah kantong plastik saat berbelanja, tetapi pemerintah wajib hadir secara aktif dan sustain melalui regulasi yang tidak membingungkan. Dengan begitu mafia juga akan mikir dua kali untuk terjun kebisnis ini.

Kalau tidak begitu maka satu hari nanti kita harus yakin bukan hanya premium dan solar yang akan diantri oleh masyarakat, tetapi juga “kantong plastik”. Para mafia pasti bergentayangan. Lucu juga nanti ada mafia “kantong plastik” yang menambah hazanah kita untuk mulai populer seperti “mafia narkoba”, “mafia minyak”... ingat...para mafia hadir karena manisnya duit di bisnis itu...!!!. benar-benar kalau tidak serius akan tumbuh ‘kartel kantong plastik”.

 

***Prabumulih,030316***

Sumber ilustrasi : Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun