Mohon tunggu...
Fikri Haekal Akbar
Fikri Haekal Akbar Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin

Fikri Haekal Akbar merupakan penulis buku "Mahastudent: Mahasiswa dengan Segala Keresahannya".

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Indonesia dan Krisis Integritas Akademik: Mengapa Ketidakjujuran Merajalela?

19 Oktober 2024   09:09 Diperbarui: 19 Oktober 2024   09:12 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam dunia pendidikan dan akademik, yaitu krisis integritas yang semakin memudar. Berbagai bentuk ketidakjujuran, seperti plagiarisme, publikasi di jurnal predator, hingga gelar akademik yang diraih secara instan, telah menjadi fenomena yang memperlihatkan masalah mendasar dalam sistem pendidikan dan budaya akademik di Indonesia. Krisis ini tidak hanya melibatkan mahasiswa atau akademisi biasa, tapi juga tokoh-tokoh publik yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini semakin memicu perdebatan luas, menunjukkan bahwa integritas akademik seringkali tergadaikan demi popularitas, keuntungan pribadi, atau pencapaian gelar akademik yang instan.

Salah satu kasus yang menjadi sorotan utama adalah terkait dengan seorang guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang diduga terlibat dalam skandal jurnal predator. Jurnal predator adalah jenis publikasi yang tidak menerapkan proses peer-review yang ketat dan hanya mencari keuntungan finansial dari para peneliti yang ingin cepat mempublikasikan karya mereka. Publikasi melalui jurnal predator ini merendahkan standar ilmiah serta mengikis kepercayaan terhadap integritas akademik. Dalam kasus ini, guru besar ULM tersebut diduga memanfaatkan jurnal predator untuk memperbanyak publikasi demi memenuhi syarat kenaikan pangkat atau mempertahankan posisinya. Kasus ini memperlihatkan tekanan yang dihadapi akademisi Indonesia untuk terus meningkatkan jumlah publikasi tanpa memperhatikan kualitas. Banyak akademisi terjebak dalam tekanan administratif untuk mengejar karier atau hibah penelitian, sehingga memilih jalan pintas yang merugikan integritas ilmiah mereka sendiri.

Fenomena lainnya yang tidak kalah kontroversial adalah pemberian gelar honoris causa kepada selebriti Raffi Ahmad oleh Universal Institute of Professional Management (UIPM). Gelar honoris causa seharusnya diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi luar biasa di bidang tertentu, seperti ilmu pengetahuan, seni, budaya, atau kemanusiaan. Namun, pemberian gelar ini kepada Raffi Ahmad memicu kontroversi luas, karena kontribusinya lebih banyak di dunia hiburan daripada di ranah akademis atau sosial. Bahkan, universitas yang memberikan gelar ini dianggap abal-abal karena tidak terakreditasi dan tidak terdaftar di DIKTI (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi). Hal ini memicu kemarahan publik yang menganggap bahwa gelar tersebut telah kehilangan nilainya ketika diberikan kepada selebriti tanpa pencapaian signifikan di bidang yang relevan. Beberapa pihak menilai pemberian gelar tersebut lebih sebagai upaya public relations untuk universitas, dan bukan penghargaan yang tulus berdasarkan kontribusi akademik.

Selain itu, Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi Indonesia, juga menjadi pusat perhatian setelah berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dalam waktu kurang dari dua tahun. Dalam sistem pendidikan doktoral yang normal, gelar doktor biasanya membutuhkan waktu minimal tiga hingga lima tahun. Namun, Bahlil berhasil menyelesaikan program doktoralnya dalam waktu yang sangat singkat, yang tentu saja menimbulkan pertanyaan besar. Selain waktu studi yang singkat, Bahlil juga diketahui pernah terlibat dalam kasus publikasi di jurnal predator sebelumnya. Hal ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa pencapaian akademisnya tidak sepenuhnya memenuhi standar ilmiah yang benar. Publik mempertanyakan validitas dari pencapaian gelar doktoral ini, terutama karena gelar doktor seharusnya melibatkan penelitian mendalam yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Kasus Bahlil mencerminkan bagaimana tekanan untuk mendapatkan gelar akademik bisa membuat integritas proses pendidikan itu sendiri dikorbankan.

Sejalan dengan itu, fenomena plagiarisme juga semakin sering terdengar di Indonesia. Plagiarisme, yang merupakan tindakan mencuri karya orang lain dan mengakuinya sebagai milik sendiri, telah menjadi masalah serius, terutama di kalangan mahasiswa. Tekanan untuk segera lulus atau memenuhi tuntutan akademik sering kali membuat mahasiswa mencari jalan pintas dengan menyalin karya orang lain. Bahkan, beberapa akademisi juga terlibat dalam plagiarisme untuk mempercepat kenaikan pangkat atau demi mendapatkan pengakuan. Meski beberapa universitas di Indonesia sudah mulai menggunakan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme, implementasinya masih jauh dari kata maksimal. Banyak kasus plagiarisme yang tidak terdeteksi atau tidak ditindak tegas, sehingga menimbulkan kesan bahwa tindakan ini bisa ditoleransi.

Ketidakjujuran akademik yang marak di Indonesia tampaknya tidak hanya terjadi secara acak, melainkan didukung oleh beberapa faktor mendasar. Hasil riset yang dilakukan oleh Vit Machacek dan Martin Srholec dari Republik Ceko menambah dimensi baru dalam memahami fenomena ini. Menurut penelitian mereka, Indonesia menempati peringkat kedua dalam hal ketidakjujuran akademik di dunia, dengan persentase 16,73%. Peringkat pertama ditempati oleh Kazakhstan dengan 17%, sedangkan Irak menempati posisi ketiga dengan 12,94%. Hasil riset ini mengejutkan banyak pihak dan menimbulkan pertanyaan lebih dalam: mengapa Indonesia menempati posisi teratas dalam ketidakjujuran akademik di dunia?

Beberapa faktor bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama, tekanan sosial dan ekonomi yang sangat besar terhadap individu untuk mendapatkan gelar akademik tinggi. Di Indonesia, gelar akademik, terutama gelar sarjana atau doktoral, sering kali dipandang sebagai simbol status sosial yang tinggi dan penentu karier. Tekanan ini sering kali membuat individu mencari jalan pintas, seperti publikasi di jurnal predator atau plagiarisme, demi mendapatkan gelar akademik dengan cepat. Gelar seringkali dilihat lebih sebagai "simbol" kesuksesan sosial dan ekonomi daripada hasil dari proses pembelajaran yang berkualitas.

Kebijakan pendidikan yang terlalu menekankan kuantitas publikasi juga turut mendorong ketidakjujuran akademik. Banyak akademisi merasa tertekan untuk memenuhi syarat administratif terkait kenaikan pangkat atau kelulusan melalui publikasi ilmiah, sehingga mereka tergoda untuk mempublikasikan karya mereka di jurnal predator yang tidak kredibel. Di sisi lain, lemahnya sistem pengawasan dan sanksi terhadap pelanggaran integritas akademik membuat tindakan seperti plagiarisme dan publikasi di jurnal predator terus berlanjut. Banyak kasus ketidakjujuran akademik yang tidak mendapatkan sanksi tegas, sehingga memberi ruang bagi pelaku untuk melanjutkan praktik tersebut tanpa konsekuensi yang berarti.

Budaya "jalan pintas" yang cukup kental di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab mengapa ketidakjujuran akademik begitu merajalela. Dalam banyak aspek kehidupan, termasuk di bidang akademik, ada kecenderungan untuk mencari solusi cepat dan mudah tanpa mempedulikan proses atau etika. Hal ini tercermin dari semakin maraknya fenomena jual-beli skripsi yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa demi mendapatkan gelar sarjana dengan cara instan.

Mengatasi krisis ini memerlukan upaya yang terkoordinasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, serta masyarakat luas. Regulasi terkait integritas akademik harus diperketat, terutama dalam hal publikasi ilmiah dan plagiarisme. Selain itu, fokus pendidikan di Indonesia perlu diarahkan kembali pada proses pembelajaran yang beretika, bukan sekadar hasil berupa gelar akademik. Institusi pendidikan perlu menanamkan nilai-nilai integritas akademik sejak dini, sehingga mahasiswa paham bahwa ketidakjujuran akademik bukan hanya merusak reputasi mereka sendiri, tetapi juga mencederai sistem pendidikan Indonesia secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun