Mohon tunggu...
Fikri Haekal Akbar
Fikri Haekal Akbar Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin

Fikri Haekal Akbar merupakan penulis buku "Mahastudent: Mahasiswa dengan Segala Keresahannya".

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

April Mop Bukan Budaya Kita, Tapi Budaya Kita Adalah Korupsi Hingga Triliunan

1 April 2024   19:28 Diperbarui: 1 April 2024   19:28 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : ngopi bareng.id

April Mop, yang juga dikenal sebagai April Fools' Day adalah hari yang ditandai dengan lelucon dan tipuan. Setiap tanggal 1 April, orang dianggap boleh berbohong atau memberi lelucon kepada orang lain tanpa merasa bersalah. Namun, perayaan ini lebih sering dimainkan di negara-negara seperti Kanada, Prancis, Irlandia, Italia, Rusia, Belanda, dan Amerika Serikat. Sedangkan norma dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia, perilaku berbohong termasuk tidak etis dilakukan meskipun bersifat lelucon.

Asal usul April Mop tidak jelas, tetapi diyakini berasal dari Roma kuno sebagai festival yang disebut Hilaria. Pada masa itu, orang merayakan musim semi dengan lelucon dan permainan.

Beberapa teori mengaitkannya dengan perubahan kalender di Prancis pada abad ke-16, sementara yang lain menyebut hubungannya dengan ekuinoks musim semi. Pada akhirnya, tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai negara dan berkembang menjadi apa yang kita kenal sebagai April Mop saat ini.

Di sisi lain, korupsi adalah masalah serius yang menggerogoti perekonomian dan keuangan negara. Di Indonesia, korupsi berkembang secara sistemik dan menjadi bagian dari budaya. Banyak orang melihat korupsi bukan lagi sebagai pelanggaran hukum, melainkan sekadar kebiasaan. Padahal, tindakan korupsi merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Dikutip berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi 2023, Indonesia berada pada peringkat 102 dari 180 negara, dengan skor 37. Hal ini menunjukkan Indonesia masih belum mencapai status wilayah bebas korupsi, tidak dapat dipungkiri bahwa dari tahun ke tahun banyak sekali oknum yang melakukan budaya korupsi ini.

Akhir-akhir ini ada sebuah kasus korupsi yang melibatkan timah dan menjerat suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis, Kejaksaan Agung telah membongkar dugaan korupsi wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Masalah pencurian timah ini sudah berlangsung lama, namun belum pernah terbongkar. Kerugian ekologis yang disebabkan oleh korupsi ini mencapai Rp 271 triliun. Jumlah ini merupakan angka kerugian lingkungan yang dihitung oleh ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Bambang Hero Saharjo.

Kasus ini merusak kawasan hutan dan non-hutan di Bangka Belitung (Babel). Meskipun angka ini terkesan fantastis, kita harus menyadari bahwa ini bukan hanya kerugian negara, tetapi juga kerugian bagi lingkungan. Timah adalah sumber daya alam yang berharga dan penting, terutama dalam industri dan teknologi. Pencurian timah ini tidak hanya menghancurkan lingkungan fisik, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekonomi dan sosial masyarakat setempat.

Selain itu, kasus ini mengungkapkan kerentanan sistem pengawasan dan penegakan hukum. Bagaimana pencurian timah sebesar itu bisa terjadi tanpa terdeteksi selama bertahun-tahun? Pertanyaan ini menggugah kita untuk memperkuat sistem pengawasan dan memastikan transparansi dalam industri pertambangan. Kita perlu memastikan bahwa sumber daya alam yang berharga ini dikelola dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Tindakan tegas harus diambil untuk mengungkap seluruh jaringan korupsi yang terlibat dalam kasus ini.

Korupsi yang merajalela di Indonesia telah mengakar dan menjadi budaya yang turun-temurun. Menipu dan merampas uang rakyat serta negara telah menjadi kebiasaan buruk yang menggerogoti fondasi bangsa.

Namun, mengubah budaya korupsi bukanlah tugas yang mudah. Korupsi telah merasuk ke berbagai lapisan masyarakat, dari pejabat tinggi hingga tingkat bawah. Ketidakpercayaan terhadap sistem hukum dan lembaga penegak hukum juga memperparah situasi ini. Oleh karena itu, perlu pendekatan holistik yang melibatkan edukasi, pengawasan, dan sanksi yang tegas.

Selain itu, kesadaran kolektif juga harus ditingkatkan. Masyarakat perlu memahami bahwa korupsi bukan hanya masalah individu, tetapi juga merugikan seluruh bangsa. Pendidikan anti-korupsi sejak dini di sekolah dan keluarga dapat membentuk generasi yang lebih peduli terhadap integritas dan kejujuran.

Tidak hanya itu, transparansi dalam pengelolaan keuangan negara dan perusahaan juga harus ditingkatkan. Informasi mengenai anggaran, proyek, dan penggunaan dana publik harus mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan aktif dalam mengawasi dan melaporkan praktik korupsi.

Kemudian, keteladanan dari para pemimpin dan tokoh masyarakat sangat penting. Jika pemimpin bertindak jujur dan transparan, masyarakat akan mengikuti jejak mereka. Oleh karena itu, para pemimpin harus menjadi contoh yang baik dan menunjukkan komitmen untuk memberantas korupsi.

Maka dari itu saya rasa April Mop mungkin bukan budaya kita, tetapi korupsi adalah bagian dari budaya yang selalu tak pernah berhenti merugikan masyarakat dan negara. Kedua budaya ini tidak jauh bedanya, karena sama-sama dilakukan dengan tindakan berbohong. Alhasil budaya korupsi telah berhasil melemahkan demokrasi, menghambat akses terhadap keadilan, dan merugikan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun