Pemilihan umum (Pemilu) 2024Â semakin dekat dalam hitungan hari. Para calon legislatif (caleg) pun berlomba-lomba untuk memperkenalkan diri dan menarik simpati rakyat melalui berbagai cara. Salah satu cara yang paling umum dan mudah adalah memasang baliho atau spanduk di pinggir jalan, perempatan, atau tempat-tempat strategis lainnya.
Namun, apakah cara ini efektif dan bermanfaat bagi rakyat? Atau justru sebaliknya, menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik bagi lingkungan, estetika kota, maupun kualitas demokrasi?
Berdasarkan fakta lapangan diberbagai tempat hampir pada seluruh penjuru Indonesia, penggunaan dan pemasangan alat peraga kampanye (APK) termasuk spanduk dan baliho tampak mulai 'beringas' pada Pemilu 2024. Ada oknum peserta pemilu yang memasang baliho tidak pada tempatnya, melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Menurut Peraturan KPU No. 15/2023 tentang Kampanye, pemasangan APK dilarang di sejumlah fasilitas, seperti tempat ibadah, rumah sakit, tempat pendidikan, gedung pemerintah, jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, serta taman dan pepohonan. Namun, kenyataannya, banyak baliho caleg yang terpasang di tempat-tempat terlarang tersebut, bahkan ada yang memasangnya di pohon-pohon atau jembatan penyeberangan.
Selain itu, ukuran APK juga diatur oleh KPU, yaitu baliho maksimal ukuran 4 x 7 meter, billboard atau videotron, maksimal ukuran 4 x 8 meter, spanduk maksimal 1,5 x 7 meter dan umbul-umbul paling besar ukuran 1,15 x 5 meter. Namun, ada juga baliho caleg yang melebihi ukuran yang ditentukan, bahkan ada yang mencapai 10 x 15 meter. Hal ini tentu saja mengganggu pandangan dan keselamatan pengguna jalan.
Baliho caleg yang terpampang di setiap sudut kota tidak dapat diabaikan lagi. Mereka telah bertransformasi dari sarana kampanye menjadi tumpukan sampah visual yang merusak panorama kota. Wajah-wajah caleg yang tersenyum dengan janji-janji besar, seringkali hanya menjadi pemandangan yang melelahkan bagi mata dan pikiran warga kota. Baliho yang terpasang tidak memberikan nilai edukatif, sehingga hanya menjadi sampah masyarakat.
Selain itu, baliho-baliho ini juga menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan yang serius. Bahan pembuatan baliho yang umumnya terbuat dari plastik atau bahan sintetis lainnya sulit terurai oleh alam. Ini berarti baliho-baliho yang tidak lagi diperlukan akan menjadi sampah yang bertumpuk dan mencemari lingkungan. Proses produksi baliho juga dapat menyumbangkan dampak buruk terhadap lingkungan, mulai dari penggunaan sumber daya yang besar hingga polusi akibat limbah produksi.
Baliho-baliho yang besar dan mencolok ini juga mengganggu harmoni visual kota dan merusak citra estetik yang telah dibangun dengan susah payah. Setiap kota memiliki karakter uniknya sendiri yang tercermin dalam arsitektur, taman, dan desain jalannya. Baliho-baliho ini membanjiri ruang publik yang seharusnya menjadi tempat bagi interaksi sosial dan aktivitas masyarakat. Jalan-jalan yang dulu menjadi tempat berjalan kaki yang menyenangkan atau berkumpul dengan teman-teman, kini dibanjiri oleh iklan politik yang berlebihan. Ini dapat mengganggu keseimbangan antara ruang pribadi dan publik, serta mengganggu kualitas hidup masyarakat kota.
Tidak hanya itu, baliho caleg juga tidak efektif dalam menyampaikan pesan dan gagasan kepada rakyat. Sebagian besar baliho caleg hanya menampilkan wajah, nama, nomor urut, dan partai politik dari caleg, tanpa memberikan informasi yang lebih substansial tentang visi, misi, program, atau rekam jejak mereka. Hal ini membuat rakyat sulit untuk menilai kualitas dan kinerja dari caleg, serta tidak menumbuhkan partisipasi politik yang kritis dan rasional.
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh baliho caleg, perlu ada solusi dan saran yang dapat diberikan kepada para caleg, penyelenggara pemilu, dan masyarakat.