Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram : @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, Surabaya || Sekjen DPP Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun kekuatan sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan Umat Islam di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Refleksi Hukum 2024 : Pergeseran Dari Rule of Law ke Rule By Law Hingga Problematika Sistem Hukum

31 Desember 2024   09:14 Diperbarui: 31 Desember 2024   09:14 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Lambang Dewi Keadilan. Sumber : Hukumonline.com

Beberapa hari lagi, kita akan mengalami pergantian tahun dari 2024 ke 2025. Sepanjang tahun 2024 lalu, berbagai dinamika telah terjadi seperti penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak se-Indonesia hingga transisi kekuasaan dari Pemerintahan Joko Widodo yang telah berlangsung selama 10 tahun ke Pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Pun demikian halnya dengan dinamika hukum di Indonesia. Bila kita merefleksikan dinamika hukum sepanjang 2024, terdapat sejumlah catatan. Salah satunya hal yang disampaikan oleh Prof. Mahfud MD yakni pergeseran sistem hukum di Indonesia yang sebelumnya ialah Rule of Law yang bergeser menjadi Rule by Law.

Rule of Law ialah prinsip negara hukum yang menyatakan bahwa masyarakat dan negara harus tunduk pada hukum. Namun kini bergeser ke Rule by Law yang berarti konsep mengenai hukum yang digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat dan mempertahankan kekuasaan mereka.

Contoh pergeseran ini ialah ketika aturan yang dikehendaki penguasa tidak ada, maka mereka akan membuat aturannya tanpa memperhatikan kaidah peraturan yang baik dan benar. Sedangkan bila sudah ada aturannya namun tidak sesuai dengan kehendak penguasa, maka pembentuk aturan akan merevisi aturan tersebut agar sesuai dengan kehendak penguasa.

Sebagai gambaran konkret di Indonesia dapat kita lihat tatkala masa penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 yang salah satunya mengagendakan Pemilihan Presiden. Ketika itu, aturan Pemilu menyebutkan bahwa syarat batas minimal usia seseorang untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden ialah 40 tahun.

Namun yang terjadi ketika masa pencalonan tersebut ialah terdapat pihak yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji syarat batas usia tersebut. Terlebih, Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman, mempunyai relasi kekeluargaan dengan salah satu kandidat kuat calon kontestan Pilpres yang tidak memenuhi syarat usia tersebut, yakni Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan putra dari Presiden kala itu, Joko Widodo.

Hasilnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dan dalam amar putusannya menyatakan bahwa bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diubah sehingga berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Akhirnya, kandidat tersebut dapat maju pada Pilpres 2024 sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto dan bahkan terpilih sehingga menjadi Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029.

Praktik penyelenggaraan Pemilu 2024 tersebut telah menunjukkan bahwa praktik sistem hukum dalam proses bernegara di Indonesia telah bergeser ke Rule by Law sebagaimana yang dipaparkan oleh Prof. Mahfud MD.

Di tambah lagi, belakangan ini muncul wacana untuk mengubah konsep Pilkada kedepannya dari pemilihan secara langsung oleh rakyat diubah menjadi pemilihan melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagaimana yang terjadi di masa sebelum Reformasi dulu. Walaupun terdapat sejumlah suara yang menentang wacana tersebut, namun bila mengacu pada konsep Rule by Law, UU Pilkada bisa saja diubah oleh DPR yang kini mayoritas diisi oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) yang merupakan partai pendukung Pemerintah.

Belum lagi bila berbicara pada aspek kelembagaan, di mana lembaga Kepolisian Republik Indonesia tengah menjadi sorotan karena sejumlah kontroversi yang dilakukan anggotanya dalam penegakan hukum. Termasuk pula suap yang dilakukan oleh sejumlah hakim di Pengadilan Negeri. Bahkan tercatat beberapa kali sekretaris Mahkamah Agung terjerat kasus korupsi. Celakanya lagi, lembaga yang diharapkan dapat menegakkan hukum di bidang korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi juga mengalami pelemahan secara kelembagaan.

Bila mengacu pada teori sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman yang menyatakan bahwa komponen sistem hukum terdiri dari : 1.) Substansi Hukum yang berbicara terkait aturan, 2.) Struktur Hukum yang terkait dengan kelembagaan, dan 3.) Budaya Hukum yang terkait aspek masyarakatnya, maka jelas bahwa sistem hukum di Indonesia tengah mengalami masalah yg sangat kompleks.

Aturan hukum yang diubah atau dibuat secara asal agar sesuai kehendak penguasa dan Lembaga penegak hukum yang justru bermasalah dengan hukum atau melanggar hukum. Sehingga tumpuan pembangunan sistem hukum di Indonesia bertumpu pada pergerakan yang disuarakan atau digerakkan oleh masyarakat melalui akademisi hukum, praktisi hukum, mahasiswa, lembaga Swadaya masyarakat yang menjadi pemerhati hukum, bahkan hingga netizen yang belakangan ini sering menyuarakan sejumlah aspirasinya melalui media sosial. Salah satu kritik yang disuarakan ialah ketika muncul tagar #NoViralNoJustice.

Masyarakat diharapkan menjadi komponen utama agar sistem hukum di Indonesia tetap berada dalam track-nya. Pendidikan politik dan hukum harus diberikan kepada masyarakat. Melek politik dan hukum bukan berarti harus terjun ke dunia politik praktis atau menjadi praktisi hukum. Hal ini semata-mata agar masyarakat cerdas dalam melihat situasi politik dan hukum di Indonesia, sehingga suara rakyat akan terus hidup.

Itulah mengapa prinsip Negara Hukum juga harus disandingkan dengan prinsip demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat. Sehingga, bila terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan hukum, masyarakat yang akan mengawasi dan bersuara sejalan dengan prinsip demokrasi agar hukum di Indonesia kembali sesuai khittahnya sebagaimana yang pernah berhasil dilakukan masyarakat ketika terjadi Reformasi 1998 yang menumbangkan Rezim Otoritarianisme di bawah Rezim Orde Baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun