Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram : @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, Surabaya || Sekjen DPP Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun kekuatan sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan Umat Islam di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Potret 20 Tahun Mahkamah Konstitusi: Jadilah Lembaga Penjaga Konstitusi, Bukan Penjagal Konstitusi

22 September 2023   10:09 Diperbarui: 22 September 2023   10:15 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
9 Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sumber : Pinter Politik

"Sembilan jubah merah adalah dewa-dewa pembawa cerah || Para pengawal konstitusi yang gagah || sembilan jubah merah bukan drakula-drakula haus darah || bukan penjagal konstitusi yang membuat rakyat marah."

Tulisan tersebut di atas ditulis oleh Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, salah satu hakim di awal berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK) - yang dikutip dalam buku "The New Indonesian Constitutional Court" karya Petra Stockmann.

Ungkapan tersebut merupakan salah satu dari banyak ungkapan dan harapan dari masyarakat Indonesia yang dibebankan kepada lembaga Mahkamah Konstitusi sejak mulai berdirinya pada Agustus 2023.

20 Tahun Pasca Berdirinya MK : Kemunduran atau Kemajuan?

Memasuki pertengahan 2023, praktis usia Mahkamah Konstitusi telah memasuki usia 20 tahun. Sepanjang 2 dasawarsa eksistensi lembaga MK, terdapat banyak dinamika dan pasang surut yang dialami oleh lembaga penjaga marwah Konstitusi tersebut.

Namun dewasa ini, kita seolah dipertontonkan dengan hal-hal yang dinilai tidak tepat dan tidak etis bila dilakukan oleh sebuah lembaga penjaga marwah Konstitusi. Mulai dari segi putusan, kelembagaan hingga etika dan moral dari hakim MK.

Sejumlah putusan MK dewasa ini menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Mulai dari putusan Inkonstitusional Bersyarat atas UU Cipta Kerja hingga yang terkini ialah putusan MK yang memperbolehkan kampanye di lembaga pendidikan.

Dari segi etika, beberapa kali Hakim MK melanggar kode etik. Salah satunya ketika salah satu Hakim MK, Guntur Hamzah terbukti mengubah substansi putusan MK.

Terkini, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman memberikan komentar terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, yang mana hal tersebut tengah dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi.

Pernyataan tersebut dinilai melanggar etika dari seorang Hakim Konstitusi untuk tidak menyampaikan suatu pokok perkara yang belum diputuskan oleh MK di hadapan umum.

Terlebih lagi, isu terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden merupakan salah satu isu sensitif menjelang Pemilu 2024. Secara tidak langsung, batas usia calon presiden dan calon wakil presiden tersebut berkaitan dengan salah satu nominasi calon presiden atau calon wakil presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka -- yang kini juga menjadi keponakannya, sejak Ketua MK menikah dengan adik Presiden Joko Widodo.

Dari dinamika yang terjadi di Mahkamah Konstitusi akhir-akhir ini, wajar saja bila masyarakat mempertanyakan dan mempertimbangkan kembali kelayakan lembaga MK sebagai lembaga penjaga marwah Konstitusi di Indonesia.

Bahkan, Presiden Ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri yang mana ketika di masa kepemimpinannya lembaga MK berdiri, pernah mengingatkan secara tegas kepada Ketua MK bahwa MK adalah penentu akhir dari problem hukum.

"Saya bilang sama Pak Usman 'Kamu itu akhir dari problem hukum lho, hati-hati jangan main-main'. Karena setelah itu mau ke mana, siapa mau mengadu?" Ungkap Megawati pada saat sosialisasi Pancasila pada 21 Agustus 2023 lalu.

Pernyataan tersebut memang tepat disampaikan dan harus menjadi perhatian sekaligus peringatan bagi MK. Sebab secara praktik ketatanegaraan di Indonesia, putusan MK bersifat final and binding.

Maksud dari bersifat final ialah bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan MK tidak mengenal istilah banding, kasasi maupun peninjauan kembali seperti halnya putusan lembaga peradilan pada umumnya.

Sedangkan maksud dari bersifat binding atau mengikat ialah bahwa putusan MK tersebut berlaku atau mengikat secara hukum - tidak hanya berlaku bagi para pihak yang terlibat saja, melainkan bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.

Dari kedua sifat putusan MK tersebut, maka seyogyanya MK harus berhati-hati dalam menjalankan kewenangan dan fungsinya. Termasuk bagi seorang hakim MK, seyogyanya berhati-hati dalam bersikap, berbuat maupun memberikan pernyataan.

Semoga, menjelang memasuki tahun politik 2024, MK dapat kembali menjaga marwah kelembagaannya. Sehingga MK dapat menjadi lembaga yang mengawal dan menjaga marwah konstitusi, dan bukan menjadi penjagal konstitusi yang membuat rakyat marah sebagaimana sya'ir dari Prof. Mukhtie Fadjar, 20 tahun yang lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun