Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram : @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, Surabaya || Sekjen DPP Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun kekuatan sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan Umat Islam di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kelangkaan Minyak Goreng: Momen Mengembalikan Peran Sentral Negara Berdasarkan Sistem Ekonomi Pancasila

4 April 2022   21:28 Diperbarui: 4 April 2022   21:33 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasokan minyak goreng yang sempat kosong di salah satu toko di Jakarta, bulan Maret 2022 lalu. Sumber : Kompas.com

Sepanjang Bulan Maret lalu, media diramaikan dengan pemberitaan mengenai kelangkaan minyak goreng di berbagai daerah. Kelangkaan ini membuat harga minyak goreng meroket tinggi, bahkan hingga Rp70 Ribu per liter, seperti yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kelangkaan tersebut juga membuat harga bahan pokok lainnya turut naik. Ditambah lagi saat ini telah memasuki Bulan Ramadhan.

Dua lembaga negara menjadi sorotan terkait kelangkaan minyak goreng tersebut. Pertama ialah Kementerian Perdagangan, dan yang kedua ialah Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau lebih dikenal sebagai BULOG.

Khusus terkait BULOG, Direktur Umum Perum BULOG Budi Waseso alias Buwas telah menegaskan bahwa BULOG tidak mempunyai hak untuk menangani permasalahan kelangkaan minyak goreng secara langsung. Hal ini didasarkan pada Pasal 2 ayat (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 Tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum (Perum) BULOG Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, yang mana Pemerintah menugaskan Perum BULOG dalam menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk jenis pangan pokok beras, jagung, dan kedelai. Sedangkan terkait minyak goreng, BULOG harus terlebih dahulu mendapatkan penugasan dari Pemerintah melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dan berdasarkan Keputusan Rapat Koordinasi. Dan hingga saat ini, BULOG masih belum mendapatkan penugasan tersebut dari Pemerintah walaupun desakan baik dari pengamat hingga anggota DPR untuk melibatkan BULOG sudah banyak disuarakan.

Konsep Pasar Pada Berbagai Sistem Ekonomi

Pada praktik di berbagai negara di dunia, ada 2 (dua) sistem ekonomi yang lazim digunakan. Yang pertama adalah sistem ekonomi liberal. Sistem ini memberikan kebebasan individu -individu atau unit perekonomian untuk melakukan kegiatan ekonomi berdasarkan kepada kepentingan masing-masing. Negara yang menganut sistem liberal akan memperbolehkan setiap pelaku ekonomi menguasai faktor produksi baik tanah, sumberdaya alam, tenaga kerja, maupun modal. Negara tidak perlu mengintervensi terhadap mekanisme pasar agar sistem ini dapat berjalan secara sehat dan lancar. Sehingga, beberapa istilah juga menyebutnya sebagai sistem kapitalis.

Sistem ekonomi lainnya ialah sistem ekonomi Sosialis, yang mana sistem ekonomi ini melibatkan peran negara dalam perekonomiannya, dalam pengertian bahwa akan adanya intervensi lebih oleh pemerintah dalam mekanisme pasar.

Lantas, sistem manakah yang dianut oleh Indonesia? Indonesia dapat dikatakan berada di antara kedua sistem tersebut. Tidak liberalis tetapi juga tidak sosialis, namun menggabungkan hal-hal yang positif dari keduanya sesuai dengan kebiasaan, adat-istiadat dan nilai lokal di Indonesia. Negara mempunyai peran khusus pada sistem perekonomian Indonesia. Tidak seperti sistem ekonomi sosialis namun tidak serta merta hilang seperti sistem ekonomi liberalis. Beberapa literature menyebutnya sebagai sistem ekonomi Pancasila.

Pergeseran Sistem Ekonomi Pancasila Pasca Reformasi

Pada masa Orde Lama, Indonesia memang cenderung mengikuti sistem ekonomi sosialis, mengingat politik luar negeri kita cenderung dekat dengan Blok Timur dan melawan imperialism Barat (walaupun Soekarno sendiri menyatakan bahwa Indonesia adalah Non-Blok).

Sedangkan pada masa Orde Baru, walaupun Indonesia cenderung 'mesra' dengan Barat dan anti terhadap Blok Timur (dikarenakan trauma akibat kejadian G-30S/PKI), namun sistem ekonomi Indonesia tidak sepenuhnya menjadi liberalis. Apalagi pada masa itu, istilah yang berbau 'Pancasila' sangat digalakkan pada masa Orde Baru, termasuk pada sistem perekonomiannya. Bahkan BULOG sendiri didirikan pada masa Orde Baru, tepatnya tanggal 10 Mei 1967. BULOG oleh Presiden Soeharto memutuskan bahwa tugas utama BULOG adalah mengendalikan harga beras, gabah, gandum, dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik bagi produsen maupun konsumen sesuai kebijakan pemerintah. Seluruh harga barang pada masa itu dikendalikan oleh Pemerintah. Generasi lama pasti mengingat pidato Menteri Penerangan, Harmoko tentang pengumuman harga bahan pokok.

Namun, pasca reformasi ada semangat dari tokoh-tokoh pada saat itu untuk mengurangi peran negara pada perekonomian dan agar menyerahkan urusan ekonomi, termasuk urusan distribusi dan harga kepada pasar. Bahkan pada saat itu ada pernyataan bahwa Negara termasuk BULOG tidak boleh lagi turut campur pada urusan perekonomian. Semua berdasarkan pasar yang dikelola oleh individu atau swasta.

Semangat untuk menyerahkan kepada pasar pada saat itu memang dapat dipahami, setelah Indonesia mengalami masa-masa otoritarianisme di bawah Rezim Orde Baru selama 32 Tahun. Apalagi pada rezim itu, walaupun istilah ketahanan negara sering digaungkan, namun nepotisme kentara sekali pada berbagai proyek termasuk urusan agraria. Tanya saja kepada petani cengkeh yang pernah merugi besar-besaran pada pertengahan 90'an akibat dari bisnis anak-anak Soeharto.

Satu sisi, kebijakan memang hal itu membuat perekonomian Indonesia perlahan dapat pulih pasca gejolak ekonomi pada 1997 yang berujung pada gejolak politik pada 1998. Perusahaan-perusahaan yang dibangun pada masa Orde Baru dalam rangka "stabilitas pangan dan ketahanan negara" banyak dibubarkan ataupun dikurangi kewenangannya. Negara tidak lagi melakukan monopoli terhadap sejumlah aspek.

Namun di sisi lain, berkurangnya peran negara membuat kartel-kartel swasta kian tumbuh pesat. Bahkan kartel tersebut justru merugikan masyarakat dengan adanya penimbunan bahan pokok dan sebagainya. Oleh karenanya, muncul pemikiran untuk mengembalikan peran negara termasuk di dalamnya BULOG turut serta untuk mengatasi permasalahan seperti kelangkaan barang dan sebagainya. Bahkan terdapat usul agar Perum BULOG kembali diberikan hak monopoli dan Negara berperan membatasi ruang gerak swasta besar yang selama ini membentuk kartel atas komoditas.

Monopoli pasca reformasi memang tegas dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun monopoli juga diperbolehkan secara limitatif pada kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang mana hal ini juga didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945.

Untuk saat ini, Pemerintah memang bisa mengatasi hal ini dengan cara seperti operasi pasar. Ditambah lagi sejatinya terdapat larangan untuk menimbun bahan pokok dalam jumlah tertentu baik yang diatur pada UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan maupun UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Namun bila kian parah, sepertinya perlu ada kajian untuk mengembalikan peran sentral negara dalam sistem perekonomian Indonesia sebagaimana trah dari Sistem Ekonomi Pancasila. Setidaknya BULOG diberikan lagi kewenangan untuk menjaga rantai distribusi pada seluruh bahan pokok (tidak hanya sebatas beras, jagung dan kedelai).

Bila peran Negara dikembalikan lagi agar menjadi peran sentral ekonomi Indonesia semisal BULOG diberikan kewenangan lebih terkait menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen pada seluruh bahan pokok (tidak hanya terkait beras, jagung dan kedelai saja),  tentu akan dipikirkan terkait dengan pengawasan terhadap negara tersebut, mengingat kita pernah mengalami trauma akibat monopoli yang dilakukan 'negara' melalui perusahaan yang didirikan oleh keluarga dan kerabat dari penguasa pada masa Orde Baru. Namun mengingat zaman sekarang sudah berbeda dengan Orde Baru yang mana informasi dan komunikasi jauh lebih terbuka dan rakyat juga sudah mulai paham dan kritis mengenai kebijakan dan politik suatu negara, maka hal-hal buruk yang pernah terjadi pada masa Orde Baru tersebut bisa diminimalisir.

Kita lihat saja langkah negara untuk mengatasi permasalahan kelangkaan minyak goreng tersebut. Jangan sampai kelangkaan menjadi berkepanjangan sehingga menjadi suatu ironi, bahwa terjadi kelangkaan minyak goreng di negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun