Haluan Negara (PPHN) menjadi isu hangat dalam ketatanegaraan dewasa ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Pusat Studi Konstitusi dan Ketatapemerintahan Fakultas Hukum Universitas Airlangga bersama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel mengadakan webinar dengan judul "Pokok-Pokok Haluan Negara dalam Amandemen UUD 1945" pada 16 Maret 2021.
Isu amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 termasuk di dalamnya adalah wacana adanya Pokok-PokokPembahasan dilanjutkan dengan dipimpin oleh Otto T. Setiawan, S.Hum., Peneliti Biro Pengkajian Konstitusi, selaku moderator. Narasumber pertama pada webinar ini adalah, Kepala Biro Pengkajian MPR-RI, Drs. Yana Indrawan, M.Si. Beliau menjelaskan gambaran secara umum mengenai PPHN.Â
Beliau menyampaikan bahwa urgensi dari PPHN ini adalah dalam rangka kesinambungan dan sinergitas pembangunan tanpa bergantung pada momen elektoral, keselarasan pembangunan pusat dan daerah, serta menyelesaikan permasalahan TAP MPRS atau TAP MPR yang masih berlaku. Beliau menambahkan bahwa adanya PPHN ini tidak akan menjadikan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara sebagaimana pada masa Orde Baru.Â
Adanya PPHN akan berimplikasi diantaranya pada fungsi anggaran DPR yang mana DPR dapat menolak Rancangan APBN (R-APBN) dari Pemerintah apabila tidak sesuai dengan PPHN. Implikasi lainnya adalah Mahkamah Konstitusi akan dapat menguji suatu Undang-Undang tidak hanya berdasarkan UUD 1945 saja, melainkan terhadap TAP MPR tentang PPHN. Bahkan beliau menegaskan bahwa PPHN tersebut bukan dipergunakan untuk meng-impeachment Presiden, karena akan merusak sistem Presidensial di Indonesia.Â
Substansi pokok-pokok haluan negara nantinya memuat arah pembangunan  bagi seluruh penyelenggara  negara yang bersifat filosofis dan merupakan turunan pertama dari Undang--Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga untuk mengembalikan kewenangan MPR tersebut dapat dilakukan melalui dua cara yakni mengamendemen UUD NRI 1945 atau melakukan revisi Undang--Undang yang berkaitan dengan MPR.Â
Sebagai penutup beliau mengutarakan bahwa jalan untuk menghadirkan pokok-pokok haluan negara masih panjang dan berliku dikarenakan amandemen UUD NRI 1945 bukan sekadar perhitungan matematis sebagaimana diatur dalam Pasal 37 saja, tetapi memerlukan konsensus politik seluruh elemen bangsa.
Narasumber kedua, Dr. Abdul Kholik, S.H., M.Si. yang merupakan Anggota DPD-RI wilayah Jawa Tengah, menjelaskan mengenai "Revitalisasi PPHN dalam Kerangka Pengintegrasian Dan Efektifitas Pembangunan Nasional Dan Daerah". Pada pemaparannya, beliau menitikberatkan terhadap urgensi PPHN dalam rangka pembangunan di daerah.Â
Pada pemaparannya, beliau menyatakan tidak sepenuhnya setuju dengan penggantian GBHN dengan PPHN. Hal ini dikarenakan menurutnya penggantian nama GBHN menjadi PPHN tidak tepat karena akan mendistorsi pengertian yang sudah memasyarakat dan mengaburkan substansi yang nomenklaturnya sudah menjadi produk sejarah dan sudah memiliki pemahaman di masyarakat.Â
Beliau tetap menyetujui bahwa produk hukum GBHN dibutuhkan yang memiliki daya ikat yang kuat dan menyeluruh bagi semua komponen/kelembagaan negara. Sehingga dari segi hierarki lebih sesuai yang memiliki karakteristik sebagai grund norm atau norma dasar yang berada di atas norma instrumental. Beliau lebih menyetujui apabila dilaksanakan konvensi ketatanegaraan yang memfungsikan kembali MPR menetapkan GBHN (tetap dalam pola hubungan lembaga tinggi negara yang horizontal) tanpa perlu mengamendemen UUD NRI 1945.Â
Narasumber terakhir adalah Ketua Pusat Studi Konstitusi dan Ketatapemerintahan FH UNAIR, Dr. Radian Salman, S.H., L.LM. Beliau mengkaji isu PPHN tersebut dari sudut pandang Hukum Tata Negara Indonesia.Â
Beliau menyebutkan bahwa PPHN ini adalah agar arah pembangunan Indonesia tidak berganti setiap adanya momen elektoral, berkaca pada pemindahan ibu kota yang tentu tidak cukup diselesaikan dalam waktu 5 (lima) tahun. Selain menjelaskan mengenai konsep-konsep dalam penyelenggaran negara, beliau juga memaparkan alternatif selain dari kembali ke konsep UUD lama.Â