Hanya ada satu jalan raya yang menghubungkan Samarinda dan Bontang. Kira-kira 30 Km dari Bontang, terdapat sebuah bukit besar yang terkenal. Bukit ini membentang di tengah-tengah jalan raya. Tanjakan yang terjal dan sangat curam, hampir 60 derajat, membuat mesin kendaraan-kendaraan besar seperti truk meraung-raung saat melaluinya. Dari kejauhan, bunyi yang ditimbulkan truk itu seperti sayup-sayup suara orang menangis. Akhirnya secara kolektif dan tak resmi, warga menamainya Gunung Menangis.
Semenjak kecelakaan tragis tempo hari, Gunung Menangis terasa begitu angkuh di malam hari. Tak ada bias sinar dari lampu depan kendaraan yang melintas. Tak ada suara mesin menderu-deru. Juga tak ada bunyi klakson yang akrab antarsopir. Semua lenyap bagai ditelan pusaran air. Aku pun hanya tahu kronologis kecelakaan tersebut dari harian lokal.
Yang aku baca, dini hari sebuah sedan melesat kencang saat menuruni kaki Gunung Menangis. Arah sebaliknya, sebuah truk yang sarat muatan berjalan lambat mendaki. Tak dinyana, tak tahu sebabnya, tiba-tiba pengemudi sedan limbung dan menghantam truk.
Braak!
Tidak ada seorang pun yang mengetahui kejadian itu karena masih terlelap. Ketika hari beranjak terang, barulah warga sekitar terperanjat melihat dua bongkah logam yang penuh lumuran darah. Satu persatu warga mendatangi lokasi musibah sambil menutup hidung tak tahan bau amis darah. Beberapa warga memutuskan kembali ke kediaman masing-masing karena pemandangan yang mengerikan. Pengemudi sedan dan sopir beserta keneknya mati di tempat kejadian. Tubuh pengemudi sedan terhimpit setir. Organ dalam tubuhnya remuk redam terkena tulang iga yang patah. Sopir dan keneknya juga naas. Kepala mereka hancur terjepit bagian dashboard dan pecahan kaca.
Banyak asumsi yang berhembus mengenai peristiwa itu. Ada yang mengatakan bahwa pengemudi sedan dalam keadaan mabuk. Ada juga yang mengatakan bahwa pengemudi sedan terkejut lantas membanting setir guna berkelit menghindari kucing hutan yang sering muncul mendadak dari balik semak-semak rimbun. Tetapi lebih banyak yang mengatakan bahwa ini perbuatan Setan Gunung Menangis.
***
Setelah kecelakaan yang melibatkan sedan tersebut, kejadian-kejadian serupa mengekor. Dalam 3 pekan terakhir, kecelakaan yang terjadi di Gunung Menangis bertambah banyak. Tak terhitung lagi berapa jumlah persisnya. Hampir tiap hari surat kabar dihiasi dengan berita kecelakaan yang merenggut enam-tujuh korban yang tewas mengenaskan.
Akibatnya, Setan Gunung Menangis semakin tersohor. Ia menjadi objek tunggal yang tertuduh di belakang peristiwa-peristiwa maut tersebut. Cerita Setan Gunung Menangis berkembang pesat dan terus mengalir deras. Tiap hari ceritanya semakin mencekam. Hal itu membuat aku dan kawan-kawan sopir taksi lainnya menggigil ngeri.
Tidak sedikit kawanku yang menolak mentah-mentah untuk ditugaskan mengantar-jemput penumpang di malam hari. Mereka bersikeras untuk berangkat saat sinar matahari nyalang membakar kulit. Padahal, honor malam hari hampir dua kali lipat saat jam kerja normal. Mereka lebih memilih tak dapat jatah lembur daripada namanya tertera dalam koran keesokan hari.
Aku dan kawan-kawan menghadap ke kepolisian setempat untuk meminta pertolongan. Ternyata, pihak berwajib kewalahan. Sudah berbagai cara polisi untuk mencegah terjadinya kecelakaan di Gunung Menangis. Mulai dari patroli rutin, memberi rambu-rambu jalan yang baru, hingga menyiapkan satu unit yang bersiaga di Gunung Menangis. Tetapi anehnya, saat polisi yang berjaga kembali ke pos untuk berganti giliran, kecelakaan terjadi.
Polisi yang memeriksa tempat kejadian perkara pun bingung tak karuan. Penyebabnya adalah kesaksian yang tidak dapat dinalar. Dari korban yang beruntung selamat, didapat keterangan yang mengherankan. Rata-rata mereka menjelaskan kejadian didahului oleh aroma bunga melati, bunga yang memang dekat dengan hal mistik. Lalu anyir darah mengembang di udara, menusuk indra pernapasan. Kemudian yang menakutkan, serupa raut rusak dengan bola mata terjuntai penuh darah muncul di samping jendela mobil. Malah salah satu dari korban berujar sosok itu terpantul di kaca spion tengah mobil, yang menandakan bahwa Setan Gunung Menangis sudah berada di dalam mobil.
Yang lebih mengherankan lagi, seluruh saksi berkisah bahwa setelah menampakkan diri, Setan Gunung menangis dan bertanya dengan suara parau menyeramkan. Semakin lama suaranya semakin keras dan menyayat telinga. Begitu mereka menjawab, braaak, sekedipan mata, mereka sudah berada dalam unit gawat darurat di rumah sakit.
Hanya ada satu cara untuk selamat dari Setan Gunung Menangis: jangan menjawab pertanyaan yang ia ucapkan. Kabar ini menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Semenyeramkan apapun rupanya, semengerikan apapun bentuknya, semelengking apapun suaranya, jangan sampai pengendara menjawab pertanyaan. Tidak masuk di akal memang, tapi cara itu terbukti mujarab. Angka kecelakaan menurun. Di bulan ketiga, angka itu mendekati nol, lalu berangsur-angsur nihil.
***
Sial bagiku, aku mendapat tugas malam untuk menjemput penumpang di Samarinda. Aku tak ingat kapan terakhir kali aku melintasi jalur Bontang – Samarinda malam hari. Ingatanku tentang Setan Gunung Menangis kembali. Aku terus mengingat cara menangkal Setan Gunung Menangis. Dengan bekal itu, aku bisa terhindar menjadi korban dan mencurangi kematian.
Hari itu usai memeriksa kondisi kendaraan dan menyelesaikan administrasi berkas penugasan dari atasan, aku berangkat setelah maghrib. Di tengah perjalanan, aku singgah sebentar di warung makan untuk mengisi perut. Ingatanku tentang Setan Gunung Menangis semakin kuat saat ibu warung menyuruh untuk lebih hati-hati di Gunung Menangis.
Aku berangkat lagi setelah kenyang. Memasuki kilometer ke-29, aku mulai bergidik. Ada firasat tidak menyenangkan di kepalaku. Aku yakin sesuatu bakal terjadi. Benar saja. Begitu tiba di lereng Gunung Menangis aroma melati tercium. Aku gemetar gemeretak. Aku merinding. Jangan menjawab. Jangan menjawab. Jangan menjawab, aku terus mengingatkan diriku sendiri. Seketika anyir darah mengapung semerbak bagai mengepung dan mengelilingiku. Hawa dingin menjalar perlahan dari telapak kakiku hingga ke kepala. Aku meningkatkan kewaspadaan. Takut kalau-kalau entah dari mana muncul Setan Gunung Menangis dan bertanya kepadaku.
Untunglah, pikirku. Ada kilatan cahaya lampu rem dan deru mesin di depanku. Aku memacu kendaraanku lebih cepat agar setidaknya aku mendapat teman perjalanan untuk melewati Gunung Menangis. Aku belum siap menjadi korban Setan Gunung Menangis selanjutnya.
Setelah sejajar, aku menurunkan kaca sebelah kiri. Setengah berteriak, aku berbicara kepada sopir truk itu.
“Pak, mau ke Samarinda juga ‘kan. Saya takut sendirian, boleh saya jalan iring-iringan?”
“Iya boleh! Bapak duluan aja!” Ia menjawab.
Braaaak!
Hahaha.
*Walau ada kesamaan tempat, cerita ini hanya fiksi.
**Untuk tema horor http://kumpulanspasi.wordpress.com/
[Cirebon Express. 21 Oktober 2013. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H