Kelabang itu hidup lagi. Menjadi lebih gesit. Gerakannya lincah. Mirip pengemudi tong setan. Entahlah analoginya saya juga asal tulis. Pokoknya dia hidup lagi dan lebih sigap. Tapi posisinya sudah berubah. Kali ini di tempat saya meletakkan botol sabun cair. Aneh. Itu kelabang keempat! Di saat yang hampir bersamaan juga muncul lagi kelabang. Kelabang kelima! Apa ini? Musim kawin kelabang? Kelabang lagi wisuda? Argh!
Dengan serta merta dua - duanya saya bunuh. Mati kau.
Saya ga ngerti kenapa tadi malem mendapat fenomena ganjil seperti itu. Kelabang bermunculan. Pesugihankah? Santetkah? Musim kawinkah? Apel malam? Ronda? Ah entahlah! Yang jelas kelabang menempati posisi ketiga hewan yang saya benci. Itu saja.
[Jogjakarta. 24 Mei 2011. 11:40 PM. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H