Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Orang Miskin Dilarang ke Bromo - Dua

5 September 2010   08:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya terbangun pagi harinya. Err, tidak pagi juga sebenarnya. Sekitar jam sepuluh sebelasan. Tidur sekitar jam setengah empat karena sibuk mengintip wisatawan asing dan domestik yang terus saja berdatangan ke area pos terakhir. Dan pastinya mereka yang datang juga tidak bisa lepas dari serbuan tawaran dari penduduk lokal. Entah itu kopi, sarung tangan, ojek, bahkan hardtop. Padahal mereka sudah menyewa hardtop sebelumnya. Entahlah. Saya bangun dan di kamar hanya ada Wibi. Harsya sibuk mencari jalan setapak yang bisa dilalui untuk mencapai Puncak Penanjakan dengan berjalan kaki. Harsya masih mencari cara bagaimana cara kami mengakses Puncak Penanjakan tanpa mengeluarkan biaya. Rp 350.000 terlalu sulit dikeluarkan untuk kantong tiga mahasiswa dan dua pengangguran sarjana ekonomi seperti kami. Dibyo malah sudah berasyikmasyuk dengan menelpon lawan jenis incarannya yang sekarang sudah menjadi pujaan dan belahan hatinya. Hahaha mendayu - dayu sekali, fik. Iban tidak terlihat. Di kamar mandi mungkin. Atau malah ikut - ikutan usaha dengan menawarkan jasa pengerjaan presentasi tugas kuliah kepada wisatawan yang datang. Hahaha. Saya menyusul mereka di warung kopi yang masih berada dalam area parkir pos terakhir. Di sana Harsya dan Wibi sedang berbicara dengan dua pemuda lokal. Yang menawarkan jasa ojek dengan harga lebih murah Rp 100.000 dibanding hardtop. Dua pemuda itu merasa kasihan dengan kami karena sampai jam duabelas siang kami masih saja teronggok di area pos terakhir. Dan lagi - lagi kami mendengar curahan hati yang sama dengan pria yang tadi malam gigih menawari kami jasa ojek. Yang ujung - ujungnya berkisar pada kapital. Akhirnya kami sepakat untuk menggunakan jasa ojek tersebut. Selain lebih murah, juga karena kami berencana untuk bermalam di Puncak Penanjakan dengan menggunakan tenda. Jadi keesokan harinya kami akan dijemput lagi untuk diantarkan ke lautan pasir Gunung Bromo. Kalau menggunakan hardtop hanya sekali jalan. Mereka tidak mau bolak - balik untuk mengantar dan menjemput lagi keesokan harinya. Saya dan Wibi makan mie instan dan mengopi. Yang lain tidak makan hanya mengopi. Ketika makan saya tertarik dengan kaos bertuliskan Gunung Bromo dalam etalase. Rp 25.000 harganya. Saya tertarik membeli. Tetapi karena ukurannya tinggal XL, ketertarikan membeli menguap. Badan saya hanya sebesar ukuran S. Kalau dipaksa beli yang XL mungkin sama saja membeli sarung. Kemudian pemilik warung bercerita tanggal 26 Agustus 2010 akan ada upacara kasodo. Dan lagi - lagi ia mengulang cerita yang sama yang semua penduduk lokal katakan. Tentang penduduk Tengger yang kurang mendapat jatah dari para pemilik modal. Padahal yang membangun akses aspal mulus adalah orang Tengger. Semoga pemerintah mendengar ini, agar turis dengan modal pas - pasan seperti kami terhindar dari semacam "pemerasan" seperti itu. Kami packing beberapa jenak. Di luar tiga motor sudah menunggu kami. Langsung meluncur ke arah Puncak Penanjakan. Baru sekitar seratus meter berjalan, kami berhenti lagi. Untuk mengakses Puncak Penanjakan harus membayar retribusi untuk wisatawan, kendaraan, dan media rekam. Untung saja kami harus membayar dengan harga lokal yang jauh lebih murah dibanding harga untuk wisatawan asing. Paras kami yang mancanegara ini ternyata dapat menipu mereka. *** Saya dan Iban berada dalam satu motor. Saya di tengah dan Iban di belakang. Setengah jam berkendara motor dengan kaki mengangkang sungguh membuat biji tidak enak. Hahaha. Biji saya sakit dan pegal. Untung saja masih lengkap tak kurang suatu apapun. Saya tak bisa membayangkan apabila di tengah perjalanan, salah satu biji saya menggelinding deras ke bawah. Itulah fungsinya tali rafia. Haha. Di tengah perjalanan Iban marah - marah teriak. Saya bingung kenapa Iban marah dan teriak. Saya menengok keadaan Iban. Rambut saya masuk matanya. Maaf ya, Ban. Haha. Akhirnya kami semua sampai di Puncak Penanjakan. Hawanya lebih dingin dua sampai tiga derajat daripada area terakhir. Beberapa warung makan terlihat buka. Mie instan dan kopi dijajakan. Lumayan, soalnya kami tidak membawa perlengkapan nesting. Lalu meniti anak tangga untuk sampai ke Puncak Penanjakan. Menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bertingkah aneh. Lalu, makan sore di warung bawah. Pesan mie instan dengan telur dan kopi lima porsi. Serta ditambah dua kacang atom. Total harga yang membuat helaan nafas bertambah panjang lima harakat. Hahaha. Iya total uang yang harus dikeluarkan untuk membayar itu semua Rp 67.000. Sekali lagi, orang miskin dilarang ke Bromo. Di warung itu saya sempat iseng juga menanyakan harga kaos yang simetris dengan kaos di warung sekitar pos area terakhir. Harga kaos bersablonkan Gunung Bromo di warung ini Rp 60.0000! Bandingkan dengan harga sebelumnya di atas. Ayo pencet tombol page up atau scroll ke atas mouse anda untuk mengecek harganya! Sebelum maghrib, Harsya dan Wibi membangun tenda yang nanti jadi tempat bermalam. Sengaja ditempatkan menempel dengan pagar tembok menara provider telepon seluar agar angin tidak terlalu menempa tenda. Begitu matahari sudah tak terlihat lagi, suhu jauh turun. Badan mulai menggelinjang, errr menggelinjang bukan kata yang tepat. Badan mulai bergetar. Padahal tidak ada sms yang masuk. Lalu turun lagi untuk makan malam. Kali ini mie instan tanpa telur. Untuk menghemat Rp. 3000 per orang. Kejadian yang tidak diduga datang ketika menunggu mie instan selesai diproduksi. "Pak saya numpang ngecas hp ya pak" "Oiya silahkan mas" Lalu saya berusaha memasukkan charger hp ke colokan listrik di warung sebelah dalam. "Bisa ga mas? Ini di sini" "Bisa pak, ini udah nyala kok" "Iya mas Rp 2000 ya per henpon" Sepertinya apa yang Wibi katakan benar. Ini bisa dijadikan bahan skripsi. Bagaimana ketinggian suatu tempat dapat mempengaruhi tingkat harga. Setelah makan, kami kembali ke Puncak Penanjakan. Mengobrol sebentar di panggung lalu menuju tenda. Sumpah, dinginnya membuat sarung tangan dan kaos kaki tak ada gunanya sama sekali. Dingin banget. Tenda sudah ditutup, kaki dengan kaos kaki masuk ke dalam tas, badan berada dalam sleeping bag, tapi saya tetap menggigil. Inilah keadaan ketika anggurmerah sangat dibutuhkan. Tapi sayang, minuman bersubstansi itu tidak jadi dibeli. Kami semua mencoba tidur setelah sebelumnya menelpon pasangan masing - masing. Haha. *** Tulisan ini tidak membahas bagaimana keindahan munculnya cahaya di ufuk timur dan aduhainya panorama blablabla. Banyak tulisan lain yang membahas itu dan kualitasnya juga jauh di atas tulisan ini dengan pilihan diksi yang puitis. Tinggal ketikkan kata kunci di mesin pencari dan nikmati. Kalau sudah banyak, mengapa saya harus menambahkan itu? Mendingan menceritakan yang lain saja. Seumur hidup, saya belum pernah merasakan kedinginan seperti itu. Dinginnya maksimal. Seperti berada dalam gerobak dorong tukang es krim warna merah. Badan saya menciut. Begitupun dengan alat kelamin. Ia sepertinya mengkerut di dalam sana. Saya lihat empat orang teman saya tertidur. Atau setidaknya mereka memejamkan mata. Saya tidak bisa tidur sama sekali. Dingin ini membunuh perlahan. Sekitar jam tiga, Puncak Penanjakan mulai berisik. Satu per satu orang muncul. Suara hardtop juga meraung. Sekitar pukul empat kami semua beranjak dari tenda ke panggung untuk melihat matahari terbit. Mengambil tempat untuk membekukan peristiwa. Saat itu, ramai sekali. Dengan multibahasa yang masuk ke telinga. Ada Jerman, Inggris, Prancis, Jawa, Sunda, Indonesia, dan bahasa yang saya tidak tahu. Timbuktu mungkin. Dipenuhi sekitar tigaratusan orang dari berbagai macam negara. Misi mereka sama: menyaksikan matahari terbit. Mari berhitung secara kasar. 1 hardtop bisa memuat 6 orang. Yang hadir di Puncak Penanjakan sekitar 300 orang. Berarti sekitar 50 hardtop. 1 hardtop berbiaya sewa Rp 350.000. Berarti kalau 50 hardtop, total uang yang cair pada hari itu adalah sekitar Rp 17.500.000. Itu sehari, kalau sebulan berarti kalikan saja 30 atau sekitar Rp 525.000.000. ergh! Seumur hidup juga, sebelum sampai di Puncak Penanjakan, saya baru melihat peristiwa shooting star atau bintang jatuh sebanyak dua kali. Namun hari itu bertambah menjadi delapan kali. Saya melihat enam kali bintang jatuh. Peristiwa bintang jatuh itu juga disaksikan oleh ratusan orang yang menanti terbitnya matahari. Bule - bule itu berisik, "Aaaahh", "oohhh", dan semacam itulah. Memang budaya make a wish ketika melihat bintang jatuh berkembang di kebudayaan mereka. Banyak di antara mereka yang make a wish ketika itu. Saya juga make a wish. Permintaan saya cuma satu: jangan kabulkan semua permintaan mereka. Walaupun saat itu minim cahaya, tapi saya yakin di sana sangat ramai. Sekitar tiga ratusan orang menunggu Cahaya sudah mulai banyak. Baterai kamera Wibi juga sudah habis. Rencananya kami kembali ke tenda dan merebahkan badan sejenak sebelum lanjut ke Lautan Pasir dan Gunung Bromo. Tapi ternyata tidak bisa. Daerah tenda juga dipenuhi wisatawan yang tidak kebagian tempat di panggung. Dan pada saat menunggu tenda sepi inilah terjadinya kejadian yang tidak akan terlupa seumur hidup. Dibyo yang haus belaian wanita mendekati dua kimcil internasional. Dia mengajak Iban. Kemudian Dibyo mengajak ngobrol mereka. "HI GIRLS! DO YOU MIND IF I TAKE A PICTURE OF YOU AND ME WITH BROMO AS A BACKGROUND?" Dua bule itu langsung melengos pergi. Tak lupa memberi tatapan jijik dan seperti berkata sori-sori-sori-jek-ku-bukan-cewek-murahan dengan telunjuknya yang ke atas bawah. Kami ngakak di tempat. Iya kecuali Dibyo, yang terus saja berdalih kalau kedua kimcil internasional itu tidak mengerti bahasa inggris. Begini ya Dibyo, itu kimcil masih tigabelas empatbelas. Masih SMP. Coba kalau kalimat kamu ditranslasikan ke dalam bahasa indonesia: "HAI CEWEK JAMAK! KAMU MIKIR GA KALO SAYA AMBIL GAMBAR KAMU DAN SAYA, BROMONYA JADI LATAR BELAKANG?" Nah, kalo rentetan kata - kata itu kamu tujukan ke anak SMP lokal, tidak usah yang internasional, saya jamin mereka juga langsung melengos. Apalagi ditambah ekspresi kamu yang seperti oom - oom senang. Jadi tidak usah berkelit ya. Akhirnya area tenda tempat kami menginap sudah mulai lengang. Kami bisa kembali ke sana dan merebahkan badan. Jadwal penjemputan untuk menuju lautan pasir adalah pukul delapan. Masih ada satu jam untuk santai. ----------------------------------- *ini satu -> monggo **ini dua -> monggo ***ini tiga -> monggo [Jogjakarta, Jakarta, Bontang. Agustus 2010. Fikri]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun