Namanya Buana. Badannya gempal dan suka membaca komik. Sesekali main game online. Preastasi biasa-biasa saja. Tidak pintar tapi juga tidak bodoh. Kuliah di salah satu universitas swasta terkenal ibukota jurusan akuntasi komputer. Pakai kacamata, minus empat setengah. Kalau lebih kurus dan rajin mandi serta potong rambut cepak, ibunya percaya Buana pasti akan jadi bintang film atau vokalis band terkenal.
Pawestri, gadis belasan. Usianya belum duapuluh. Belum juga besar payudaranya. Tapi ibunya sudah cerewet. Menasehati agar tak memakai busana dengan belahan dada menyembul. Keluarganya religious. Taat beragama disamping taat bayar pajak. Baru saja lulus SMA. Rambutnya kini pendek setengkuk. Rumahnya sederhana. Tiga kamar cukup. Serta dapur dan kamar mandi. Ayahnya sudah lima tahun tak menginjak rumah. Hanya duit kiriman yang datang tiap bulan. Mandor perkebunan kelapa sawit di pulau sebelah.
Bagi Buana, hari senin itu adalah hari nonton nasional. Kuliah sudah selesai pukul sebelas siang dan setelah itu bebas merdeka. Kampus dan bioskop hanya dipisahkan sebuah jalan raya super lebar berjarak sepuluh mobil sedan dan lima langkah jalur hijau. Selesai makan siang, Buana dan teman-temannya menyeberang ke bioskop ingin menonton film horor terbaru. Ada adegan panas yang konon katanya sangat menggoda iman. Masih ada waktu tiga puluh menit sampai pintu dibuka. Buana tergoda dengan permainan tembak-tembakan. Teman-temannya tidak begitu tertarik. Buana pun seorang diri menukar lembaran uang menjadi koin-koin kepada loket berwarna biru di pojok ruangan. Dari situ matanya mengincar mesin tembak-tembakan. Time crisis II. Tinggal selangkah menuju mesin permainan, pada saat itulah Buana melihatnya. Malaikat.
“Malaikat? Heyy aku bukan malaikat!” ujar Pawestri dalam hati. Ia risih dengan mata lelaki gembrot di depannya. Matanya menelanjangi. Bahkan Pawestri tak bawa selendang untuk dicuri. Pawestri datang ke bioskop. Ia ingin melihat cameo dirinya dalam film genre populer di Indonesia, boror. Bokep horor. Ia tak sengaja berada di samping actor utama ketika menyeberang jalan. Ia mungkin tak melihat piranti yang memenuhi lokasi tersebut. Sedang galau barangkali. Sehingga tak sempat memerhatikan sekeliling. Ia baru sadar ketika ada teriakan “Cuutt!” dan tepuk tangan kru. Tapi apapun alibinya, yang jelas Ia sedang merasa kikuk dengan tatapan lawan jenis yang akan mendatanginya. Game yang sedang dimainkannya selesai. Ia tertembak.
***
-----------------------------------
*dilanjutkan setelah Korea Utara juara World Cup. Hahaha
[jogJAKARTA. 15 Juni 2010. 10:55 AM.JS]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H