Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mirip Catatan Pelesir, Namun Sebenarnya Ini Adalah

20 Juni 2014   03:29 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:03 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya menumpang Kereta Matarmaja dari Pasar Senen hingga Malang. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita bahwa saya lebih memilih lapar hingga tiba di Semarang untuk membeli nasi rames di luar stasiun pinggir tembok daripada membeli nasi goreng kereta seharga Rp 18000 yang rasanya lebih mirip karet digarami? Untuk apa saya bercerita bahwa jika kamu tidak bisa masak, tapi jika tetap ingin bekerja sebagai koki, maka kamu bisa melamar pekerjaan ke PT.KAI? Untuk apa saya bercerita bahwa saya memilih menggelar matras untuk tidur di bawah jok kereta daripada harus tidur dengan punggung tegak 90 derajat? Untuk apa saya bercerita bahwa waktu itu hampir seluruh penumpang di gerbong yang saya tempati memiliki destinasi yang sama? Untuk apa saya bercerita bahwa penumpang di belakang bangku saya adalah segerombolan ibu-ibu paruh baya yang tiap 15 menit mengunjungi kamar mandi kereta dengan aroma amoniak menyengat hanya untuk merokok?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya bisa tiba di Ranu Pani. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita bahwa rombongan kami harus menjadi saksi kekisruhan antara sopir truk yang mengangkut kami, yang rencananya akan mengantar hingga Ranu Pani, dan sopir angkutan kota, yang katanya dilindungi Dinas Perhubungan setempat, demi ongkos Rp 7000 per orang pukul dini hari? Untuk apa saya bercerita tentang rombongan kami yang sudah sampai di tempat tujuan dengan truk, harus kembali ke titik pemberangkatan dan wajib menumpang angkot? Untuk apa saya bercerita selama perjalanan menuju Ranu Pani, saya bisa melihat Bukit Teletubbies dan Gunung Bromo? Untuk apa saya bercerita tentang Warung Bu Erna yang punya sambal sangat menusuk langit-langit mulut sampai-sampai teh hangat manis tidak mampu membasuh rasa pedas yang efeknya bertahan lama? Untuk apa saya bercerita kalau ponsel saya tiba-tiba memutar lagu Cinta Melulu dari Efek Rumah Kaca di dalam ruangan yang penuh sesak pendaki tepat ketika petugas Taman Nasional Semeru akan memberikan ceramah instruksinya?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya kemping di Ranu Kumbolo. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita butuh waktu 8 jam karena kelelahan dan kram otot yang melanda dengan dahsyat agar tiba di Ranu Kumbolo? Untuk apa lagi saya bercerita tentang Ranu Kumbolo yang termasyhur itu? Untuk apa saya bercerita tentang bimasakti yang terpapar dan berkali-kali bintang jatuh di langit dan Ranu Kumbolo? Untuk apa saya bercerita tentang berpuluh-puluh orang rela bangun pagi hanya untuk melihat matahari mengintip lewat celah antara dua bukit? Untuk apa saya bercerita saya mendengkur hebat saat tertidur lelap di sana? Untuk apa saya bercerita kalau para penduduk lokal menjual rokok Gudang Garam di sana dengan harga Rp 25000? Untuk apa saya bercerita kalau saya mencium aroma alkohol dan asap ganja dari beberapa tenda di sana? Untuk apa saya bercerita tentang beberapa orang menempatkan tendanya di tempat yang dilarang padahal saya yakin mereka mendengarkan instruksi dari petugas dengan jelas?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya mendaki Tanjakan Cinta yang melegenda. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang Tanjakan Cinta yang menurut saya lebih tepat disebut Tanjakan Peremuk Lutut? Untuk apa saya bercerita tentang mitos ‘Barangsiapa yang berpikir tentang seseorang yang ia cintai ketika mendaki Tanjakan Cinta, akan mendapatkannya asalkan tidak menoleh ke belakang’? Untuk apa saya bercerita tentang dengan perempuan di kepala saya kala itu, padahal ia tidak bakal membaca tulisan ini? Hahaha tidak, saat itu kepala saya penuh dengan rasa sakit di lutut. Untuk apa saya bercerita setelah mendaki Tanjakan Cinta saya bisa melihat ladang lavender berwarna ungu?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya kemping di Kalimati. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang dinginnya Kalimati, begitu dinginnya hingga jaket, kaos kaki, dan sleeping bag tidak mampu meredam reaksi menggigil tubuh? Untuk apa saya bercerita kalau saya akhirnya bisa beol meski harus dipaksa, setelah 5 hari tidak ada panggilan alam tersebut? Untuk apa saya bercerita saya sudah menggali lubang, tapi ternyata lubang tersebut tidak cukup untuk menampung kotoran saya, hahaha? Untuk apa saya bercerita bahwa kami bisa-bisanya makan mpek-mpek di sana? Untuk apa saya bercerita kalau tugas saya selama di Semeru dalam menyiapkan makanan adalah mengupas bawang-bawangan? Untuk apa saya bercerita saya tidur dengan keadaan hidung penuh dengan upil yang coklat kehitaman dan lembek?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya bisa mencapai Mahameru, puncak tertinggi para dewa. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang pukul dua dini hari saya harus tetap bergerak agar tidak kedinginan merangkak melewati lintasan pasir dan kerikil, serta batuan vulkanik, padahal saya bisa bersantai di rumah? Untuk apa saya bercerita tentang kerikil dan pasir yang menyelinap masuk ke dalam sepatu setiap tiga langkah? Untuk apa saya bercerita tentang Mahameru yang sebetulnya hanya terdiri atas hamparan bebatuan dan tiang dengan bendera merah putih yang sudah lusuh, tapi mampu memikat jutaan manusia bersusah payah untuk berfoto? Untuk apa saya bercerita saya bisa melihat pantai utara dan pantai selatan Jawa dari sana? Untuk apa saya bercerita bahwa roti tawar tanpa olesan dan isi apapun terasa sangat enak setelah 8 jam mendaki? Untuk apa saya bercerita bahwa banyak orang yang berfoto dengan kostum aneh, dari toga hingga gaun pernikahan di puncak Mahameru?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana saya mendapat teman-teman baru. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang Pak Samsul yang berusia 54 mampu menjadi orang pertama dalam rombongan kami yang mencapai Mahameru? Untuk apa saya bercerita tentang Bang Mariko yang membawa tenda, perlengkapan trangia, logistik, dan berbagai peralatan berat lainnya, serta asli Batak, mengeluh, “Kenapa dingin kali pulau kalian!” selama perjalanan? Untuk apa saya bercerita tentang Mas Ulik sang fotografer andalan kantornya yang mengalami kram lutut dari awal perjalanan namun akhirnya bisa tiba di Mahameru setelah tertatih-tatih meniti jalur menuju puncak selama 11 jam? Untuk apa saya bercerita tentang Malta yang terkenal manja, pandai bersolek, mengikuti kelas yoga di akhir pekan, dan gemar membohongi perempuan, tiba-tiba menjadi pendaki? Untuk apa saya bercerita tentang Lisa, perempuan bankir yang dititipi uang iuran untuk membeli logistik lalu bisa-bisanya memasak spaghetti dan panekuk di atas gunung? Untuk apa saya bercerita tentang Mas Domo yang sebagian tubuhnya saya rasa terbuat dari mesin yang mampu membawa 2 tas carrier besar sekaligus? Untuk apa saya bercerita tentang Mas Kecap yang mengalah tidak naik ke Mahameru demi menjaga tenda dan bertubuh kecil namun kekar yang jika dipakaikan topi caping, maka ia sudah dibunuh Rambo karena mirip Vietcong? Untuk apa saya bercerita tentang Pak Damar yang memasak nasi goreng spesial sarden dengan saos spaghetti dengan rasa yang tidak keruan dan bau amis mirip umpan memancing ikan namun tetap saya lahap? Untuk apa saya bercerita tentang Harsya … ah tapi saya memang malas bercerita tentangnya, karena sudah terlalu banyak saya ceritakan di tulisan yang lain.

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir bagaimana perjalanan pulang. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita tentang berjalan kaki berjam-jam dengan tas ransel yang membebani pundak hingga menyebabkan kemerahan dan lecet pada kulit? Untuk apa saya bercerita setelah sampai di lokasi kemping, saya hanya melihat bahwa beberapa manusia tidak lebih pintar dari kucing yang bisa mengubur tahinya sendiri dengan tanah? Untuk apa saya bercerita kalau saya mendapat nama panggilan baru, Oom Gondrong, di sana? Untuk apa saya dan Mas Kecap selalu bercanda tiap berpapasan dengan pendaki lain yang berjalan sambil bernyanyi dengan, “Aku sih yes ya! Kalau Mas Anang gimana?” Untuk apa saya bercerita banyak tinta cat dan pena yang tergores di bebatuan Semeru? Untuk apa saya bercerita bahwa ada poster tentang gundukan sampah setinggi 50cm?

Tadinya saya ingin menulis sedikit catatan pelesir ke Gunung Semeru. Tapi rasanya itu tidak perlu. Lagipula setelah saya pikir-pikir, untuk apa saya bercerita lagi, karena sudah banyak artikel perjalanan ke puncak tertinggi di Jawa dalam dunia digital ini? Untuk apa saya menuliskan catatan pelesir ke Gunung Semeru sepanjang ini, jika ujung-ujungnya disama-samakan dengan buku berjudul 5cm yang super keren itu?

*Foto dari Andrean Malta dan Lisa.

[Cirebon. Juni 2014. Fikri]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun