Dampak deflasi telah dirasakan secara luas. Deflator PDB sebagian besar sektor ekonomi Indonesia hanya 1-2 persen di 2023, jauh di bawah angka inflasi. Satu-satunya yang mengalami inflasi adalah sektor pertanian akibat El Nino. Seluruh sektor bisnis Indonesia diperkirakan akan terus melaporkan penurunan pendapatan dan keuntungan bersih di Q4 2023.
Disinflasi global berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampaknya dapat signifikan meskipun Indonesia memiliki beban utang publik dan swasta yang jauh lebih ringan dibanding negara maju. Disinflasi bisa memicu efek "money illusion" terbalik di mana berkurangnya pendapatan ekspor komoditas membuat pelaku ekonomi enggan meningkatkan konsumsi dan investasi yang berpotensi menjadikan kelesuan ekonomi sebagai ramalan yang menjadi kenyataan.
Kesenjangan (gap) antara pertumbuhan PDB riil dan nominal Indonesia pada tahun 2023 dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, produsen menghadapi penurunan margin keuntungan karena harga jual produk turun secara riil, sementara biaya input relatif tetap. Hal ini dapat menghambat ekspansi usaha dan investasi karena tingkat pengembalian investasi (return on investment) yang lebih rendah. Kedua, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi riil akibat lesunya permintaan domestik maupun daya saing ekspor juga dapat terjadi. Bahkan, kesenjangan yang berkepanjangan berpotensi memicu fenomena stagnasi semu (secular stagnation), di mana pertumbuhan ekonomi melambat dalam jangka panjang. Ketiga, pemerintah juga akan kesulitan untuk memenuhi target penerimaan pajak dan menggenjot belanja negara. Oleh karena itu, kesenjangan antara pertumbuhan PDB riil dan nominal perlu diatasi agar roda perekonomian tetap berputar dengan baik.
Pemerintah telah memiliki beberapa opsi kebijakan konkret untuk menanggulangi fenomena disinflasi dan dampaknya terhadap perekonomian. Pertama, dapat dilakukan ekspansi fiskal melalui peningkatan belanja negara, stimulus pajak, dan transfer tunai langsung ke masyarakat. Langkah ini diharapkan dapat mendorong permintaan agregat dan mengerek tingkat inflasi. Kedua, Bank Indonesia dapat menurunkan suku bunga acuan serta menerapkan kebijakan makroprudensial yang lebih longgar untuk meningkatkan likuiditas di sistem perbankan. Likuiditas yang cukup dapat merangsang ekspansi kredit dan pengeluaran, memberikan dorongan terhadap tingkat inflasi. Pemberian insentif pajak dan kemudahan investasi dapat mendorong ekspansi sektor industri dalam negeri, meningkatkan kapasitas produksi, dan menyebabkan inflasi dari sisi biaya (cost push inflation). Selain itu, untuk mendukung inflasi dari sisi permintaan, pemerintah dapat mendorong peningkatan upah minimum provinsi secara terukur. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat, mendukung kenaikan konsumsi, dan mendorong inflasi melalui demand pull inflation.
IV. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Q1 2024
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1 2024 tetap optimistis. Lembaga riset Danareksa Sekuritas memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,16 persen (yoy) pada Q1 2024, meningkat dari pertumbuhan 5,04 persen (yoy) pada Q4 2023 dengan didorong peningkatan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah. Konsumsi rumah tangga diperkirakan akan tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy) pada Q1 2024, lebih tinggi dari pertumbuhan 4,47 persen (yoy) pada Q4 2023 karena didorong oleh meningkatnya daya beli masyarakat akibat kenaikan upah minimum dan bantuan sosial dari pemerintah.
Belanja pemerintah juga diperkirakan akan meningkat pada Q1 2024, seiring dengan persiapan pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar pada Februari 2024. Hal ini akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Investasi diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,10 persen (yoy) pada Q1 2024, lebih rendah dari pertumbuhan 5,02 persen (yoy) pada Q4 2023 yang disebabkan oleh faktor ketidakpastian menjelang pemilu.
Ekspor diperkirakan akan tumbuh terbatas sebesar 1,70 persen (yoy) pada Q1 2024, lebih tinggi dari pertumbuhan 1,64 persen (yoy) pada Q4 2023 yang disebabkan oleh permintaan yang diperkirakan masih positif dari Tiongkok dan negara-negara berkembang lainnya. Impor diperkirakan akan semakin terkontraksi sebesar  minus 0,92 persen (yoy) pada Q1 2024, dibandingkan pertumbuhan minus 0,15 persen (yoy) pada Q4 2023 yang disebabkan pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
V. Prospek dan Tantangan Ekonomi Global di 2024
Tahun 2024 akan diwarnai oleh tantangan global yang signifikan. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 2,9 persen, dipicu oleh perang di Ukraina, inflasi tinggi, dan kenaikan suku bunga. IMF memperkirakan inflasi global akan mencapai 6,5 persen pada tahun 2023, turun dari 8,8 persen pada tahun 2022. Namun, inflasi masih diperkirakan akan tetap tinggi pada tahun 2024, sebesar 4,1 persen. Selain itu, IMF memperkirakan suku bunga kebijakan global akan mencapai 5,2 persen pada tahun 2024, naik dari 3,5 persen pada tahun 2022. Di sisi lain, menurut laporan Prospek Ekonomi Global (GEP) yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada Januari 2024, ekonomi global diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan dari 2,6 persen pada tahun 2023 menjadi 2,4 persen pada tahun 2024 yang merupakan perlambatan ketiga kalinya secara berturut-turut.
Pada tahun 2024, pertumbuhan Amerika Serikat (AS) diperkirakan melambat menjadi 1,6 persen (yoy). Pertumbuhan konsumsi diperkirakan melemah pada tahun 2024 karena nilai tabungan masyarakat akan mulai berkurang seiring dengan pelonggaran pasar tenaga kerja, di tengah efek pengetatan moneter yang terus berlanjut sejak awal tahun 2022. Kebijakan fiskal diperkirakan lebih restriktif, sehingga mengurangi dukungan terhadap konsumsi. Untuk Zona Eropa, diperkirakan akan sedikit meningkat menjadi 0,7 persen (yoy) di 2024 karena tekanan inflasi yang mereda akan meningkatkan upah riil (pendapatan) yang dapat dibelanjakan. Namun, konsumsi kemungkinan masih tertahan karena efek pengetatan moneter yang tertinggal. Secara keseluruhan, negara-negara maju diperkirakan tumbuh sebesar 1,5 persen yoy di 2023, dan pada 2024 diperkirakan sedikit melambat menjadi 1,2 persen (yoy).
Dari Asia, pada tahun 2024, perekonomian Tiongkok diperkirakan melambat menjadi 4,5 persen (yoy) (direvisi turun sebesar 0,1 ppt dari perkiraan sebelumnya). Investasi masih tertahan di tengah tekanan yang terus-menerus di sektor properti, sementara sentimen yang melemah dapat membebani konsumsi. Hal ini dapat berdampak pada perdagangan global yang tetap lemah pada tahun 2024, dan membebani ekspor serta pertumbuhan permintaan domestik yang lebih lambat menahan impor.
VI. Prospek dan Tantangan Ekonomi Indonesia di 2024
Selain tantangan global, Indonesia menghadapi tantangan domestik khusus pada tahun 2024, di antaranya: 1) Pemilu presiden dan legislatif yang akan digelar pada tahun 2024 dapat menimbulkan ketidakpastian politik dan ekonomi yang selanjutnya dapat memengaruhi keputusan investasi dan belanja konsumen; 2) Kenaikan harga pangan dan energi global dapat menyebabkan inflasi di Indonesia meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat serta memperlambat pertumbuhan ekonomi; 3) Defisit anggaran pemerintah diperkirakan akan meningkat pada tahun 2024 yang disebabkan meningkatnya belanja pemerintah untuk persiapan pemilu dan pembangunan infrastruktur sehingga dapat meningkatkan beban utang negara; 4) Rupiah diperkirakan berpotensi melemah terhadap dolar AS pada tahun 2024 sehingga dapat menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih mahal dan meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan.