Mohon tunggu...
Fikri Fauzan
Fikri Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - sebagai mahasiswa

Muhamad Fikri Fauzan Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Unissula Dosen pengampu : Dr. Ira Alia Maerani,S.Pd.,M.pd

Selanjutnya

Tutup

Analisis

analisis perkembangan ekonomi negara indonesia pada tahun 2023-2024

5 Januari 2025   18:06 Diperbarui: 5 Januari 2025   18:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tahun 2023 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 5,05 persen, sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,31 persen. Namun, di tengah badai ekonomi global dan inflasi yang tinggi, Indonesia masih menunjukkan ketangguhan. Kapal ekonomi Indonesia terus melaju, meski diterpa gelombang ketidakpastian. Artikel ini akan menjelajahi panggung ekonomi di kuartal keempat tahun 2023, menggali ke dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi yang akan mengawali kuartal pertama 2024, meretas rintangan ekonomi global yang menghadang di tahun 2024, dan menanggapi tantangan-tantangan spesifik yang melibatkan Indonesia dalam panggung yang sama.

II. Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal IV-2023
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2023 mencapai 5,04 persen (year on year/yoy), sedikit melebihi proyeksi pemerintah sebesar 5 persen. Penyumbang utama pertumbuhan ini adalah peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi. Konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tumbuh 4,82 persen di 2023. Kenaikan upah minimum dan bantuan sosial pemerintah menjadi faktor pendorong utama peningkatan konsumsi rumah tangga. Di tengah tantangan ekonomi global dan inflasi yang tinggi, peningkatan konsumsi rumah tangga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih terjaga.

Sementara itu, investasi tumbuh 4,40 persen, didukung oleh realisasi program pembangunan infrastruktur. Meskipun pertumbuhan investasi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini tetap menunjukkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Stabilitas politik dan ekonomi, serta potensi pasar yang besar, menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Belanja pemerintah turun menjadi 2,95 persen di 2023 yang disebabkan upaya pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran. Meskipun demikian, belanja pemerintah masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi melalui program-program pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial pemerintah yang terus berlanjut.

Ekspor dan impor juga mengalami peningkatan. Kenaikan ekspor didorong oleh permintaan global yang relatif masih kuat terhadap komoditas andalan Indonesia, seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet. Sementara itu, peningkatan impor didorong oleh kebutuhan bahan baku dan barang modal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mampu bersaing di pasar global.

Secara kumulatif sepanjang 2023, realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen, melambat dibandingkan pertumbuhan 5,31 persen pada 2022. Hal ini sejalan dengan perkiraan akibat perlambatan ekonomi global dan aktivitas domestik yang terdampak inflasi tinggi.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan perlambatan ekonomi di kuartal IV atau Q4 2023 antara lain dapat dilihat dari sisi neraca permintaan agregat: 1) Melambatnya konsumsi rumah tangga menjadi 4,5 persen (yoy) pada Q4 2023 dibanding Q3 2023 sebesar 5,1 persen (yoy), terutama disebabkan melemahnya (tertundanya) daya beli kelas menengah ke atas, serta relatif terbatasnya kenaikan konsumsi segmen berpenghasilan rendah di tengah kenaikan belanja sosial dan politik menjelang pemilihan umum (pemilu); 2) Perlambatan investasi menjadi 5,0 persen (yoy) pada Q4 2023, dibandingkan 5,8 persen pada Q3 2023. Investasi mesin dan peralatan serta kendaraan bermotor mengalami perlambatan seiring melemahnya ekspor dan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), sementara investasi bangunan dan infrastruktur relatif bertahan didukung belanja modal pemerintah; dan 3) Melambatnya kinerja ekspor-impor. Kontribusi net ekspor terhadap pertumbuhan PDB menurun menjadi 0,4 percentage point (ppt) pada Q4 2023 dari 0,5 ppt pada Q3 2023. Hal ini mencerminkan peningkatan impor lebih tinggi ketimbang ekspor seiring perlambatan ekonomi global dan harga komoditas yang melemah.

Ditinjau dari sisi lapangan usaha, beberapa sektor ekonomi utama mencatat perlambatan pertumbuhan pada 2023, di antaranya: 1) Sektor makanan dan minuman (food and beverage/F&B). Penurunan konsumsi rumah tangga pada Q4 dipimpin oleh pengeluaran untuk F&B, kesehatan, dan pendidikan. Pertumbuhan sektor F&B melambat menjadi 7,9 persen (yoy) di Q4 2023 dari 10,9 persen (yoy) di Q3 2023; dan 2) Sektor industri pengolahan tumbuh melambat menjadi 4,1 persen (yoy) di Q4 2023 dari 5,2 persen (yoy) di Q3 2023 yang disebabkan melemahnya permintaan global untuk produk ekspor industri. Di sisi lain, sektor konstruksi menjadi penyokong utama pertumbuhan dengan pertumbuhan 7,7 persen (yoy) di Q4 2023, diikuti sektor pertambangan 7,5 persen (yoy), serta listrik dan gas 8,7 persen (yoy). Ketiga sektor tersebut memberikan kontribusi pertumbuhan masing-masing sebesar 0,47 persen, 0,45 persen, dan 0,05 persen di sepanjang 2023.

Secara kumulatif sepanjang 2023, dari sisi sektoral, sektor transportasi dan penyimpanan mencatat pertumbuhan tertinggi 13,96 persen, didukung kenaikan volume penumpang pesawat domestik dan internasional serta perkembangan moda transportasi kereta api seperti Lintas Raya Terpadu (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Dua sektor lain yang tumbuh paling tinggi adalah sektor akomodasi dan restoran yang tumbuh 10,01 persen dan jasa lainnya yang tumbuh 10,52 persen.

III. Fenomena Disinflasi Global
Cerita utama dari pertumbuhan ekonomi tahun 2023 adalah kesenjangan antara PDB riil dan nominal. Pertumbuhan PDB riil Indonesia tercatat sebesar 5,05 persen (yoy), didukung oleh pertumbuhan 5,04 persen pada Q4 2023. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi secara nominal jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 6,66 persen (yoy) secara keseluruhan tahun 2023 dan hanya 3,67 persen pada Q4 2023. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara pertumbuhan PDB riil dan nominal di 2023 dan mengindikasikan terjadinya fenomena deflasi/disinflasi dalam perekonomian Indonesia. Deflasi terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Deflasi atau disinflasi global telah berlangsung sejak Q2 2023. Situasi ini terutama disebabkan oleh dua faktor eksternal: 1) Penurunan harga komoditas. Harga berbagai komoditas global mengalami penurunan tajam. Misalnya harga litium yang anjlok meski Tiongkok melakukan investasi dan produksi baterai dalam jumlah besar. Hal ini menunjukkan tingkat kelebihan pasokan yang sangat besar. Indonesia memang bukan produsen litium, tetapi gambaran suram ini berlaku juga untuk komoditas ekspor Indonesia seperti batu bara dan nikel ke Tiongkok; 2) Kelebihan kapasitas industri Tiongkok. Sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, Tiongkok saat ini tengah dilanda kelebihan kapasitas produksi di sektor industri, dan situasi ini telah memicu deflasi harga barang-barang industri dan tekanan berat pada mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun