Mungkin saja ini bahasan yang usang. Dan masih berkutat pada epistemologi dan teori-teori, bukan aksiologi. Apalagi ide-ide pembaharuan kemajuan 4.0. Namun hal ini masih menjadi keresahan di dalam hati saya. Yang dalam 3 tahun terahir, berada di lingkungan baru yang di dalamnya ada tradisi-tradisi yang tidak asing di telinga kita.
Tapi sekali lagi, ini adalah keresahan kecil yang selalu timbul dan tenggelam di hati saya. Keresahan akan muncul ketika terjadi di depan mata saya, dan akan terlupa begitu saja setelahnya.
Dalam berbagai macam tradisi di masyarakat Nusantara, yang mengumpulkan banyak orang (baca : mengundang) seperti tahlilan, walimahan, yasinan baik itu suasana bahagia ataupun duka, pasti ada suguhan atau hidangan. Sedangkan, hidangan itu tidak mungkin ujug-ujug ada. Pasti ada tangan-tangan yang repot untuk mengadakan.
Suatu ketika, saat saya ikut tahlilan, merenung. Saya merenung di hadapan segelas teh manis panas, dan sebuah piring kecil yang berisi 3 jenis makanan. Angan saya melayang sampai kemana-mana. Dari membayangkan berapa biaya yang dikeluarkan, sampai apa saja yang disiapkan dan mulai kapan persiapannya.
Ketika membayangkan biaya, otomatis yang terbayang adalah nominal per porsi dikali jumlah undangan. Akan ketemu angka-angka prakiraan biaya. Lalu berlanjut saya membayangkan persiapannya. Dalam sebuah acara yang saya hadiri saja misalnya, ada peran-peran tak nampak untuk andil persiapan. Yang tak nampak itu adalah para ibu dan mba-mba. Peranan mereka vital. Tapi tak ada ucapan penghormatan saat sambutan. Sedangkan para laki-laki dan bapak-bapak, duduk liyer-liyer terkantuk saat acara, lalu segar bugar saat hidangan telah tiba.
Saat acara tahlil dan do'a berlangsung, saya membayangkan para tiang wingking berjibaku dengan waktu, supaya sajian tidak terlambat untuk dihidangkan. Jadi ucapan salam penutup dari Mbah Modin --sebutan untuk pemimpin tahlil---adalah batas akhirnya mereka persiapan. Setelah itu, hidangan harus segera keluar. Saya yakin, para ibu sudah pandai dalam mengatur waktu, sehingga tidak akan ada keterlambatan. Dan itu butuh pengalaman dan jam terbang.
Lalu, pertanyaan saya adalah, mengapa para tiang wingking tidak diberikan kesempatan untuk menjadi bagian yang duduk di depan sambil liyer-liyer baca tahlil dan amin-amin? Sangat patriarki sekali bukan?
Oh iya, patriarki sudah tahu kan? sudah dong. . .Â
Itu lho, sistem sosial yang menempatkan laki-laki lebih tinggi.Â
Dalam bayangan saya langsung teringat sebuah teori patriarki itu tadi, yang tanpa terasa berjalan di tengah masyarakat. Dalam hal ini, kaum laki-laki dilayani oleh perempuan. Padahal, jika dibandingkan, tingkat pengeluaran energinya tidak seimbang. Saya membayangkan betapa lelahnya persiapan, pelaksanaan acara sampai pada sesi akhir yang tidak sekedar hamdalah dan salam lalu pulang. Melainkan harus asah-asah (cuci gelas-piring) dulu, bersih-bersih dan lain sebagainya. Para tiang wingking ini sudah persiapan sejak sehari sebelum, datang beberapa jam sebelum acara dan pulang tapi semuanya harus bersih kembali. Tidak langsung pamitan dan salaman.
Ketidak seimbangan yang saya maksud ini adalah realita di lapangannya. Ketika para laki-laki duduk di depan --yang katanya menghadiri tahlilan, tetapi tidak sungguh-sungguh saat mengikutinya. Kadang malah ngobrol sendiri, sambil mainan hp, liyer-liyer ngantuk, dan aktivitas di luar rukun tahlil. Padahal, niatan diadakan tahlil itu baik. Tapi kalau tidak sungguh-sungguh, apa tidak melukai perasaan si pembuat acara? Termasuk, jika tidak sungguh-sungguh tidak menghormati yang telah berjibaku di dapur. Coba kalau dibalik, yang di dapur yang sak geleme dewe?, apa bisa jadi itu hidangan untuk para tamu?