Mohon tunggu...
Fikri Boy
Fikri Boy Mohon Tunggu... Guru - seorang guru yang menulis

supaya kelak tulisan-tulisan ini dibaca oleh putri saya

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Tindakan-Tindakan Konyol Para Pendukung Paslon Pilkada

5 November 2024   14:52 Diperbarui: 5 November 2024   14:52 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Boyolali 2 hari terakhir, gerimis sedang asik-asiknya menyapa warga. Membasahi permukaan tanah, aspal, halaman rumah, sawah, dan jalan desa. Bibir-bibir warga desa juga basah karena menikmati teh nasgitel di sore hari.

Semenjak sobat nongkrong saya lengser dari Ketua RT -yang telah Ia jabat selama 15 tahun- kami jadi lebih sering ngobrol ngalor-ngidul. Terutama jeda antara selepas Maghrib sampai Isya'. 

Diawali ngobrolin anak tetangga, menceritakan kisah heroik saat mencari rupiah atau kisah-kisah sedih di tempat kerja masing-masing, atau tentang mentri-mentri kabinetnya Pak Prabowo sampai ngobrol betapa kagetnya kami, kenapa Tom Lembong terjerat kasus korupsi?.

Dan akhir-akhir ini, yang ngga pernah absen dari obrolan tongkrongan kami adalah tentang Pilkada tahun ini. Yang rasanya mirip dengan Pilkades.

Kenapa bisa kami bilang seperti itu? Pilkades adalah pemilihan umum yang sangat dekat dengan masyarakat. Karena calon yang dipilih bisa jadi masih tetangga sendiri, teman kecil atau masih anaknya Pak Dhe. 

Nah, Pilkada tahun ini rasanya juga seperti itu. Resistensinya sangat kerasa sekali. Seperti yang dibela seolah-olah lebih dari calon kepala daerah yang sebenarnya hanya manusia biasa. Bukan calon nabi ke 26. Yang sebenarnya kalau jagoannya menang, ya lupa sama para pendukungnya-pembelanya. Padahal, itu calon bupati, kenal sama kamu aja enggak. . .

Ada tindakan-tindakan konyol yang bisa kita lihat. Saya yakin, para pendukung yang fanatik terhadap paslon tertentu itu tidak mau jika disebut konyol. Namanya juga sudah suka. Karena, biasanya kalau sudah suka, yang muncul adalah tindakan yang konyol tak terduga tak dinyana. . .

Pernah lihat baliho atau spanduk yang dipaku pada pohon? Nah itu bentuk kekonyolan pertama. Tidak ikut nanam pohonya ,apa lagi ngrawat, dan itu juga bukan miliknya. Kok se enaknya main tancap pakai paku. Sama lingkungan hidup saja etikanya seperti itu, apalagi kepada sesama manusia? Perlu dievaluasi juga. Semakin banyaknya baliho, apakah berdampak pada perolehan suara saat coblosan?

Nah kepada sesama manusia juga ada oknum-oknum yang kurang ber-etika ketika kampanye di jalan. Saya sebut oknum biar lebih aman.

Jika kita melihat sejarah kampanye politik di Indonesia, memang pernah menggunakan cara jalanan atau turun ke jalan untuk menunjukkan eksistensi. Dengan menggerakkan masa lalu menggunakan kendaraan yang suaranya menarik perhatian. Kalau itu dilakukan pada tahun 90an atau saat menjelang reformasi dan setelah reformasi, mungkin cara itu menjadi salah satu yang dipakai. 

Namun, saat ini apakah cara seperti itu masih relevan? Masih cocok? Relevansinya dengan apa? Ya dengan apakah menggunakan masa yang turun ke jalan, lalu menggunakan kendaraan yang bersuara nyaring akan berdampak pada penambahan perolehan suara?

Masa yang ribuan jumlahnya di jalanan, hanya akan menjadi buih yang akan menguap. Tidak akan bisa dikonversi dalam bentuk perolehan juara pada saat coblosan.

Coba deh, hal itu dievaluasi lagi. Mengumpulkan masa sebagai bentuk eksistensi, ya monggo saja. Tapi, lihat juga impactnya, dilihat dampak positifnya. Apakah hanya akan rame-rame saja di jalanan, lalu akan sepi perolehan suaranya di TPS? Kan konyol itu namanya. Padahal, modal untuk menggerakkan masa, tidak bisa dikalkulasi berapa itu modalnya.

Lalu bagaimana?

Saya belum pernah menemukan kampanye yang berdampak. Kampanye para calon pemimpin hanya datang ke suatu wilayah, mengumpulkan masa, bagi-bagi sembako atau bantuan yang berupa barang. Ada yang bagi-bagi uang, meskipun itu sembunyi-sembunyi.  Belum pernah kampanye yang bentuknya adalah program yang berdampak jangka panjang.

Misalnya, kalau kampanye jangan hanya memberi karpet untuk masjid. Kirim tim khusus, lalu kerja sama dengan pemuda atau takmir masjid. Buat program pemberdayaan TPA atau pengajian ibu-ibu. Buat program kolaborasi. Insya Allah, andaikan belum menang, pahala jariyah akan terus mengalir. Dan bisa jadi, periode depan, akan lebih menarik simpati masyarakat. 

Terapkan diberbagai bidang di masyarakat. Misalnya pendampingan kelompok tani, pendampingan UMKM, pendampingan kreativitas pemuda, dan lain sebagainya. Jika pendampingan memerlukan biaya, toh kampanye dengan baliho dan wor-wor di jalan atau jalan sehat juga memakai biaya?

Intinya adalah, kampanye yang datang membawa barang, hanya seperti Sinterklaas yang datang saat hari Natal, lalu memberi hadiah kemudian pergi. Tidak akan ada dampak berkelanjutan. Berbeda halnya jika itu tadi. Menggunakan program pemberdayaan masyarakat sebagai kampanye. Tanpa atribut, tanpa deklarasi. Saya yakin,masyarakat juga punya mata, punya telinga, punya hati. Mana calon pemimin yang layak dipilih, atau calon pemimpin yang sekedar dimintai bantuan kursi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun