Mohon tunggu...
Fikri Azardy
Fikri Azardy Mohon Tunggu... -

Huahahaha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengubah Persepsi Melalui Tangan Jurnalis

30 Agustus 2013   10:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:37 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah seumpama cermin dalam berbagai hal yang berbau masa depan. Ini tidak bisa dipungkiri dengan banyaknya patokan-patokan yang diambil dengan melirik ke belakang. Namun jika dilihat dari pandangan masyarakat modern, sejarah tidak begitu menjadi patokan dalam keputusan dan pertimbangan dalam mengkaji beberapa hal. Melihat pandangan pro dan kontra dalam sejarah membuat harus ada control dalam mengangkat arti penting dari sejarah.

Sang Proklamator Soekarno pernah berpesan agar jangan melupakan sejarah. Dari pesan tersebut dapat dimaknai mendalam mengenai pentingnya sejarah. Sesuatu hal tidak akan terjadi jika tidak ada sejarah yang mendukung terjadinya hal tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan dalam upaya kontrol dengan merekam semua kejadian-kejadian yang terjadi, dibungkus, dan disajikan ke khalayak ramai. Tujuannya agar semua orang mengetahui latar belakang serta dapat memetik sesuatu yang akan dibawa untuk masa sekarang, maupun masa mendatang.

Seperti yang diketahui khalayak ramai, profesi jurnalis menjadi suatu profesi yang merangkum, mendokumentasikan dalam bentuk kata-kata yang kerap dibaca atau didengar sebagai sumber informasi mengenai beberapa hal. Bukan hanya hal-hal yang terjadi sekarang saja yang dibahas oleh jurnalis, beberapa hal yang terjadi belakangan kerap dijadikan berita hangat yang dikemas secara apik oleh seorang jurnalis. Berita tersebut menarik perhatian masyarakat dan menggugah nafsu keingin tahuan akan sesuatu yang belum diketahuinya. Disini lah dapat dilihat peran jurnalis sebagai profesi yang membawa pengaruh akbar dalam eksistensi sejarah pada era modern seperti sekarang.

Masih teringat jelas gempa berujung tsunami di Aceh pada tahun 2004 yang meluluh lantakkan bangunan-bangunan, harta benda, serta nyawa manusia. Jika dilihat dari sudut pandang latar belakang terjadinya gempa tersebut tentunya akan didapatkan penyebabnya dari sisi geografis. Namun jika dikaji dari sudut pandang yang berbeda, tentunya ada pemahaman yang berbeda juga. Bahkan jika ditelisik dari sisi gaib akan didapati hal yang tidak dapat dicerna oleh akal sehat. Seperti di salah satu media massa lokal yang menyajikan peristiwa malam sebelum terjadi gempa tersebut digelar pesta seks oleh beberapa masyarakat di suatu tempat. Hal ini mungkin yang menjadi latar belakang dikarenakan penghuni gaib di daerah tersebut murka oleh perbuatan itu. Di sinilah peran jurnalis dalam mengorek peristiwa yang hanya diketahui oleh beberapa orang.

Hal lainnya pada emansipasi wanita yang kerap menjadi senjata kaum wanita dalam memposisikan derajatnya dengan kaum pria. Hal ini dipengaruhi oleh asumsi publik yang mengatakan semua hal yang dilakukan pria dapat dilakukan oleh wanita. Jika ditelisik kembali dari sejarahnya, emansipasi wanita terbentuk pada hari kelahiran Raden Adjeng Kartini yang kini diperingati menjadi hari Kartini. Padahal emansipasi wanita pada era kartini yaitu menyetarakan kedudukan wanita sama dengan pria dalam bidang pendidikan. Namun kini telah berkembang bahwa wanita tidak bisa dianggap lebih rendah dari pria. Ini persepsi yang hanya melihat dari pemahaman semu. Tidak semua wanita bisa disetarakan dengan pria karena pria dan wanita mempunyai porsi yang berbeda-beda dengan kemampuan yang berbeda juga. Walaupun ada yang dapat menyetarakannya, tetapi cenderung ada suatu dispensasi bagi wanita.

Fenomena ini memberikan nilai lebih kepada jurnalis untuk dapat merubah persepsi seseorang dari yang salah menjadi benar, bengkok menjadi lurus, samar-samar menjadi jelas, dan gelap menjadi terang. Jurnalislah yang menjadi pahlawan dalam kegalauan dan kerisauan masyarakat dalam persepsi yang salah. Terutama mengenai sejarah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun