Konstitusi negara Republik Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan  sejak pertama kali kehadirannya pada Tahun 1945 sampai dengan saat ini yang berlaku adalah UUD NRI 1945.Â
Perubahan tersebut bermakna pada basis kedaulatan rakyat dan kepentingan rakyat Indonesia searah dengan dinamisasi pelaksanaan dan perkembangan demokrasi dan hukum di Indonesia.Â
Konsepsi terkait dengan hukum dan demokrasi dalam sebuah negara secara otomatis idealnya terejawantahkan lewat terbangunya struktur ketatanegaraan yang lahir dan bekerja secara demokratis.
Geliat isu amandemen terhadap UUD NRI 1945 semakin menjadi isu hangat ketatanegaraan hari ini yang menyeret banyak implikasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, salah satu sub bahasan yang menyita perhatian publik adalah terkait "isu 3 periode" yang bakal mendapatkan jalur legal bak jalan tol dalam salah satu output dari amandemen kelima ini.
Proses yang kemudian melahirkan praktik ketatanegaraan yang demikian tidak bisa dipisahkan dengan keterkaitan adanya Proses Pemilihan Umum dan kehadiran Partai Politik. Hal yang tentunya menjadi menarik adalah melihat irisan dan keterkaitan antara pengaturan Partai Politik dan Pemilihan Umum
Pemilu seyogyanya dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, sistem dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama karena melalui penataan, sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Pada Orde Lama era Soekarno di tahun 1955 yakni pemilu pertama di Indonesia menerapkan sistem Multi Partai, kemudian di masa Orde Baru era Soeharto yang menerapkan sistem Dwi Partai dan juga golongan orang-orang berkarya (Golkar), serta pada masa reformasi sampai saat ini pengaturan mengenai pemilu dengan sistem multi partai yang mendominasi dengan macam-macam penentuan suara dengan sistem proporsional yang bervariasi dengan varian daftar calon mengikat. Daftar calon tertutup, daftar calon terbuka.
Dalam perkembangannya melalui UU No. 7 Tahun 2017 telah diatur suatu ketentuan baru, yakni pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara (Parliamentary Threshold) bagi partai politik peserta pemilu.Â
Adapun dalam ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa, Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan suara kursi anggota DPR.
Scott Mainwaring dan Juan J. Linz, berpendapat bahwa sistem multi partai lebih cocok untuk dikombinasikan dengan sistem parlementer,sehingga sebenanrnya secara teoritis semestinya sistem pemerintahan presidensil tidak tepat dikombinasikan dengan sistem multi partai, sehingga lahirlah konsep Parliamentary Thereshold.
Parliamentary Threshold ditujukan untuk penyederhanaan sistem kepartaian yang ada di Indonesia. Keberadaan dan efektivitas dari Parliamentary Threshold membuat semakin sedikit partai politik yang ada di Lembaga perwakilan maka semakin efektif pelaksanaan fungsi politik dari lembaga-lembaga tersebut.Â
Parliamentary Threshold juga menjadi upaya untuk menghilangkan praktik reinkarnasi partai politik untuk mengikuti pemilu selanjutnya sehingga semangat penyederhanaan partai politik bisa efektif dan maksimal.Â
Dalam hal ini hak untuk berkumpul, berserikat atau hingga mendirikan partai politik tetap dijamin dan dilindungi oleh negara, akan tetapi untuk masuk ke parlemen harus melwati ada standarisasi yang kuat dalam hal ini harus mengikuti Parliamentary Thereshold.
Threshold juga dikenal dalam pemilihan presiden di Indonesia yang biasa disebut istilah presidential threshold. Melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah menerapkan aturan baru untuk pilpres pada tahun 2004, yang lazimnya dikenal dengan istilah presidential threshold atau ambang batas suara minimum partai politik agar dapat mengirimkan calonnya dalam ajang pilpres.Â
Penentuan mengenai presidential threshold perlu dilakukan secara proporsional serta memperhatikan keseimbangan antara politik hukum penyederhanaan partai dan perlindungan terhadap keragaman politik.
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menetapkan angka presidential threshold sebesar 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat.Â
Posisi ini sebenanrya telah memberikan penguatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden terpilih setidak-tidaknya dalam menjalankan roda pemerintahannya telah mengantongi 20% dukungan parlemen baik itu dari satu partai maupun hasil koalisi. Hal ini menjadi penting mengingat posisi Presiden dalam system presidensil merupakan Kepala Negara sekaligus  Kepala Pemerintahan.
Hanya saja yang menjadi soal adalah hasil yudicial review MK mengabulkan gugatan masyarakat dan mengeluarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2014, yang antara lain putusannya menyatakan bahwa praktik pemilihan umum yang memisahkan antara pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wapres adalah inskontitusional (tidak berdasar pada konstitusi), oleh karena itu pemilu harus dilaksanakan secara serentak.
Kejadian ini lah yang terjadi pada 2019 lalu, yang justru menurut penulis jika ditelisik secara menyeluruh dalam kerangka argumentasi penguatan system presidensil dengan salah satu caranya adalah penguatan dukungan Presiden di parlemen dan semangat penyederhanaan partai justru menjadi argumentasi logika yang tidak sejalan, mengingat yang bakal dijadikan acuan untuk mengukur Presiden Threshold adalah kondisi kursi parlemen lima tahun yang lalu. Beberapa kemungkinan  konsekuensi politik yang bakal hadir dengan kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
- Lahirnya kemudian koalisi partai politik yang sama-sama masih meraba peluang lolos ke parlemen atau tidak untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden yang berakbibat terjadinya peluang tukar-menukar kepentingan
- Jika parpol pengusung calon presiden dan calon wakil presiden terpilih kemudian tidak menguasai parlemen, maka kebijakan presiden dapat terhambat karena tidak didukung oleh mayoritas anggota di parlemen
- Parpol baru yang baru saja berkompetesi dalam pemilu serentak tahun 2019 tidak dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden karena tidak memiliki parliamentary threshold, namun apaila nantinya parpol baru tersebut memiiki perolehan kursi yang besar maka berpotensi dapat membentuk poros baru di luar poros koalisi dan oposisi.
Sehingga memang menurut hemat penulis, masih sangat perlu untuk memikirkan ius constituendum dari pengaturan partai politik yang lebih komprehensif lagi seperti bagaiamana proses perekrutan kader, pemberdayaan kader dan peran partai politik sebagai pabrik gagasan karena partai politiklah menjadi wadah legal untuk memproduksi pemimpin pemerintahan, dan tentunya pengaturan desain system pemilihan umum yang ideal sehingga misalnya bisa menghindarkan proses money poltik hingga akhirnya berujung pada pemilihan umum yang substantif untuk menciptakan strukutur ketatanegaraan yang demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H