Mohon tunggu...
Fikri Al Amry
Fikri Al Amry Mohon Tunggu... Lainnya - Setiap entitas adalah guru, setiap nafas adalah medan ikhtiar

🇮🇩

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana 3 Periode, tapi Jangan Lupakan Presidensial Threshold

21 September 2021   21:49 Diperbarui: 21 September 2021   22:54 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Parliamentary Threshold juga menjadi upaya untuk menghilangkan praktik reinkarnasi partai politik untuk mengikuti pemilu selanjutnya sehingga semangat penyederhanaan partai politik bisa efektif dan maksimal. 

Dalam hal ini hak untuk berkumpul, berserikat atau hingga mendirikan partai politik tetap dijamin dan dilindungi oleh negara, akan tetapi untuk masuk ke parlemen harus melwati ada standarisasi yang kuat dalam hal ini harus mengikuti Parliamentary Thereshold.

Threshold juga dikenal dalam pemilihan presiden di Indonesia yang biasa disebut istilah presidential threshold. Melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemerintah menerapkan aturan baru untuk pilpres pada tahun 2004, yang lazimnya dikenal dengan istilah presidential threshold atau ambang batas suara minimum partai politik agar dapat mengirimkan calonnya dalam ajang pilpres. 

Penentuan mengenai presidential threshold perlu dilakukan secara proporsional serta memperhatikan keseimbangan antara politik hukum penyederhanaan partai dan perlindungan terhadap keragaman politik.

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menetapkan angka presidential threshold sebesar 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau memperoleh 25% dari suara sah nasional dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 

Posisi ini sebenanrya telah memberikan penguatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden terpilih setidak-tidaknya dalam menjalankan roda pemerintahannya telah mengantongi 20% dukungan parlemen baik itu dari satu partai maupun hasil koalisi. Hal ini menjadi penting mengingat posisi Presiden dalam system presidensil merupakan Kepala Negara sekaligus  Kepala Pemerintahan.

Hanya saja yang menjadi soal adalah hasil yudicial review MK mengabulkan gugatan masyarakat dan mengeluarkan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2014, yang antara lain putusannya menyatakan bahwa praktik pemilihan umum yang memisahkan antara pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wapres adalah inskontitusional (tidak berdasar pada konstitusi), oleh karena itu pemilu harus dilaksanakan secara serentak.

Kejadian ini lah yang terjadi pada 2019 lalu, yang justru menurut penulis jika ditelisik secara menyeluruh dalam kerangka argumentasi penguatan system presidensil dengan salah satu caranya adalah penguatan dukungan Presiden di parlemen dan semangat penyederhanaan partai justru menjadi argumentasi logika yang tidak sejalan, mengingat yang bakal dijadikan acuan untuk mengukur Presiden Threshold adalah kondisi kursi parlemen lima tahun yang lalu. Beberapa kemungkinan  konsekuensi politik yang bakal hadir dengan kondisi tersebut adalah sebagai berikut:

  • Lahirnya kemudian koalisi partai politik yang sama-sama masih meraba peluang lolos ke parlemen atau tidak untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden yang berakbibat terjadinya peluang tukar-menukar kepentingan
  • Jika parpol pengusung calon presiden dan calon wakil presiden terpilih kemudian tidak menguasai parlemen, maka kebijakan presiden dapat terhambat karena tidak didukung oleh mayoritas anggota di parlemen
  • Parpol baru yang baru saja berkompetesi dalam pemilu serentak tahun 2019 tidak dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden karena tidak memiliki parliamentary threshold, namun apaila nantinya parpol baru tersebut memiiki perolehan kursi yang besar maka berpotensi dapat membentuk poros baru di luar poros koalisi dan oposisi.

Sehingga memang menurut hemat penulis, masih sangat perlu untuk memikirkan ius constituendum dari pengaturan partai politik yang lebih komprehensif lagi seperti bagaiamana proses perekrutan kader, pemberdayaan kader dan peran partai politik sebagai pabrik gagasan karena partai politiklah menjadi wadah legal untuk memproduksi pemimpin pemerintahan, dan tentunya pengaturan desain system pemilihan umum yang ideal sehingga misalnya bisa menghindarkan proses money poltik hingga akhirnya berujung pada pemilihan umum yang substantif untuk menciptakan strukutur ketatanegaraan yang demokratis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun