Mohon tunggu...
Muhammad Fikri
Muhammad Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Researcher

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Virus Itu Bernama "Standar Pernikahan"

4 Juli 2022   21:25 Diperbarui: 4 Juli 2022   21:44 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan, [sumber: instagram/erika.pau]

"Eh, anaknya si anu kemaren nikahnya di gedung mewah ya, kateringnya juga macam-macam, terus dekorasinya juga mahal".

"Ya wajar aja sih, menantunya orang kaya. Udah standar juga kan di tempat kita kayak gitu".

Semuannya menjadi rumit dan sulit ketika ditentukan dengan standarisasi masyarakat, apa benar begitu ?

Sudah banyak cerita orang-orang yang gagal menikah, entah karena hubungannya rusak, atau status yang menjadi masalah, atau juga karena ekonomi yang tak mendukung. 

Serba serbi gagal menikah bukan lagi hal yang tabu di Indonesia. Bahkan karena sudah banyak kejadian, tentu saja membuat hal ini terdengar seperti hal normal di telinga masyarakat. Faktor yang bervariatif membuat drama gagal menikah menjadi topik asyik di setiap pembicaraan.

Indonesia memiliki beragama budaya dalam adat istiadat pernikahan. Tentunya, adat istiadat ini perlu dilaksanakan sebagai bentuk rasa hormat terhadap kebudayaan. Namun, di samping adanya adat istiadat, standarisasi juga ada dalam pandangan masyarakat, dan menjadi patokan khusus dalam acara pernikahan. Hal ini jugalah yang banyak menjadi faktor kegagalan dalam sebuah rencana pernikahan.

Apa salahnya tidak mengikuti standar masyarakat, kenapa juga kita harus mengikuti pandangan masyarakat yang meletakkan standarisasi tanpa dasar.

Standar pernikahan hanya dibuat sebagai alat ukur finansial, standar pernikahan hanya dijadikan sarana pemuas nafsu masyarakat, dan standar pernikahan hanya berlaku di masyarakat yang tak mengerti makna sebenarnya pernikahan.

Standarisasi lah yang menjadi penyebab utama rumit dan sulitnya menikah. Bahkan, karena terlalu berpatokan kepada standar banyak orang yang gagal menikah. 

Standar hanya dibuat masyarakat untuk membanding-bandingkan ekonomi seseorang, kebiasaan suka membanding-bandingkan inilah merupakan penyakit dan melahirkan virus yang mendampak di lingkungan masyarakat, bahkan dampak dari virus ini sangat merusak moral normatif seseorang.

Sebenarnya, melangsungkan pernikahan merupakan hal baik dalam adat masyarakat indonesia, demi mencegah terjadinya hal-hal yang merusak norma sosial dan norma agama tentunya. Maka, alangkah lebih baiknya jika suatu pernikahan dapat terlaksana tanpa adanya masalah oleh hal apapun, apalagi hanya karena pengaruh negatif lingkungan, seperti pandangan menurut masyarakat tentang standar pernikahan.

Standar pernikahan bisa merusak niat baik seseorang, maka sebisanya setiap individu yang memiliki keterkaitan dalam sebuah rencana pernikahan, hendaknya lebih menyaring lagi apa saja yang beredar dalam lingkungan, termasuk pembicaran masyarakat yang benar-benar harus difilter sebelum ditangkap.

Tidak ada keharusan pernikahan dilaksanakan dengan acara yang mewah, di gedung mewah, katering yang beragam, dekorasi mahal atau bahkan menyewa fotografer berkelas. Itu semua hanyalah bentuk gengsi masyarakat kekinian. Pemikiran seperti ini seharusnya dihilangkan dari masyarakat kita, dengan begitu pola sosial kita dapat membentuk sebuah relasi yang serat akan integrasi.

Jangan sampai sebuah gengsi mampu menghentikan aksi, capailah tujuan kita dengan porsi kemampuan kita, semua orang punya cara masing-masing dalam menggapai tujuan. Lalu, apa hanya karena standarisasi aksi kita terhenti?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun