Tengah malam hampir memasuki dini hari, berbarengan dengan saya yang masih terjaga karena tugas-tugas kuliah, .Feast mengeluarkan sebuah mini album berjudul "Beberapa Orang Memaafkan". Berbekal rasa keingintahuan yang tinggi, saya buka platform pemutar musik digital untuk mendengarkan lagu-lagu dari mini album .Feast yang baru.Â
Saya cukup terkejut dengan track pertama. Bukan karena sound, maupun aspek musikalitasnya. Saya cukup terkejut dengan liriknya. Dalam hati saya bilang: GOKIL JUGA NIH LAGU!
Track pertama yang diberi judul "Apa Kata Bapak" mampu membawa imaji saya ke dalam ruang kuliah. Saya merasa seolah-olah sedang mengikuti mata kuliah Antropologi Pendidikan yang memang semester ini sedang saya ambil. Bahkan imaji saya sampai mengatakan kalau .Feast adalah dosen saya. Begini beberapa potongan lirik dari lagu "Apa Kata Bapak" yang menurut saya membawa imaji saya ke dalam ruang kuliah:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah "Departemen Pendidikan dan Kebudayaan".
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah "Departemen Untuk Lebih Mendidik dan Membudayakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan".
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah "Departemen Yang Berpendidikan dan Berkebudayaan". Tugasnya adalah untuk mengisi "Pendidikan dan Kebudayaan".
Lirik yang menurut saya menggunakan bahasa-bahasa sarkas, namun mengenai sasaran dengan cepat dan tepat. Bahasa yang lugas, namun sederhana. Belum lagi penempatan pada track pertama yang menurut saya tepat.Â
Orang langsung dapat dengan mudah mengintepretasikan maksud dari lagu dan mini album tersebut. Sungguh pendahuluan yang di luar ekspektasi saya.
Dari sini, kemudian saya berfikir bahwa ternyata musik bisa juga menjadi sesuatu yang berbahaya. Saya menyebutnya 'senjata yang berbahaya' lebih tepatnya. Bagaimana lirik-lirik lagu dapat menjelaskan mengenai realita sosial yang terjadi sehari-hari, dan merupakan salah satu 'senjata yang berbahaya' untuk mengkritisi keadaan.
Mengapa Musik Berbahaya?
Mengutip pernyataan Campbell (2001), "Dunia pada dasarnya bersifat musikal. Musik adalah bahasa yang mengandung unsurunsur universal, bahasa yang melintasi batasbatas usia, jenis kelamin, ras, agama, dan kebangsaan".Â
Hampir di semua keseharian kita tak pernah terlepas dari bunyi bunyian, baik itu bunyi kendaraan bermotor, benda jatuh, langkah kaki, dll.
Menurut Jensen (dalam Pasiak, 2007), pengaruh musik terhadap tubuh antara lain: (1) meningkatkan energi otot, (2) meningkatkan energi molekul, (3) mempengaruhi denyut jantung, (4) mempengaruhi metabolisme, (5) meredakan nyeri dan stress, (6) mempercepat penyembuhan pada pasien pasca operasi, (7) meredakan kelelahan, (8) membantu melepaskan emosi yang tidak nyaman, (9) menstimulasi kreativitas, sensivitas, dan berpikir.
Dari banyak penelitian, bisa disimpulkan bahwa musik sangat memiliki pengaruh pada fisik manusia. Menurut Georgi Lozanov, irama, ketukan, dan keharmonisan musik mempengaruhi fisiologi manusia, terutama gelombang otak dan detak jantung, di samping membangkitkan perasaan dan ingatan. Hal ini menandakan jika musik akan dapat dengan mudah diterima oleh indera manusia.
Mudahnya musik diterima oleh indera manusia inilah yang membuat musik, terlebih musik-musik yang berisi lirik-lirik yang mengkritik, menjadi senjata yang berbahaya. Lagu dan suara adalah senjata yang lebih kuat, karena cara musik bekerja adalah langsung pada emosi kita (Street, 2003)
Musik Sebagai Sarana Alternatif
Dalam bahasa teori gerakan sosial, Eyerman & Jamison dalam Street (2003) memberikan pendekatan kognitif terhadap gerakan sosial. Dunia ini dilihat melalui 'frame', atau yang mereka sukai, yaitu budaya menghasilkan sebuah 'praksis kognitif', yang menyediakan sumber daya untuk memobilisasi gerakan sosial.Â
Musik menjadi 'pengetahuan dan tindakan, bagian dari kerangka interpretasi dan representasi yang dihasilkan dalam gerakan sosial'.Â
Pemikiran ini, yang menyatukan pengalaman musik (bagaimana dan di mana kita mendengar suara) dan aksi politik, sangat sugestif, menyediakan jembatan teoritis tersirat oleh studi kasus historis tentang hubungan antara musik dan gerakan sosial.
Musik sangat bisa kita jadikan sebagai salah satu sarana alternatif untuk mengkritisi realita sosial. Tentu saja, dengan ramuan musikalitas dan kata-kata yang ciamik pula. Tidak ada ketentuan baku, semua terserah pada musisi.
Seperti apa yang dilakukan oleh .Feast, ketika mengkritik sistem pendidikan maupun realita ekonomi dan masyarakat di Indonesia. Atau bisa juga seperti musisi era orde baru macam Iwan Fals, Bimbo, ataupun Elpamas.Â
Mereka menjadi sesuatu yang menjadi perhatian oleh orde karena kritiknya lewat musik-musik yang mereka ciptakan. Semua kembali pada satu kesimpulan bahwa musik mampu menjadi sarana alternatif untuk menyampaikan pendapat, baik berupa kritik maupun saran.
Sampai disini, rasanya saya ingin bertanya perihal kehebatan musik dalam menyampaikan sesuatu. Ketika kritik dengan media berupa ucapan dan tulisan tidak sepenuhnya dapat dengan tepat mengenai sasaran, bukankah musik satu-satunya jalan? Ayo bikin lagu!
Referensi
Campbell, D. (2001). Efek Mozart. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Pasiak, T. (2007). Brain Management for Self Improvement. Bandung: Mizan.
Street, J. (2003). Fight the Power: The Politics of Music and the Music of Politics. Oxford: Blackwell Publishing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H