Kata diaspora merujuk pada warga yang migrasi ke luar negara asalnya (home country) menuju ke negara yang menjadi tujuan (host country) baik dalam rangka pendidikan maupun pekerjaan. Mereka, menjadi salah satu partner kerja pemerintah negara untuk mencapai kepentingan nasional melalui kerja sama luar negeri.
Indonesia, memiliki jumlah diaspora kurang lebih 8 juta orang yang tersebar di berbagai negara di belahan dunia. Salah satu negara tujuan Warga Negara Indonesia yang hendak bermigrasi ke luar negeri yakni Jepang. Diaspora Indonesia di Jepang menduduki peringkat 11 jumlah orang asing yang tinggal di negara matahari terbit tersebut. Mudahnya, pergerakan Masyarakat Indonesia yang hendak ke Jepang menjadi dampak positif kemitraan Indonesia dengan Jepang yang terjalin beberapa tahun terakhir.
Perbedaan budaya yang dimiliki Indonesia dengan Jepang, terkadang menjadi tantangan dan pengalaman menarik bagi para diaspora yang memutuskan untuk tinggal sementara waktu di sana. Dari cara bekerja, cara belajar hingga culture dalam kehidupan sehari-hari membuat para diaspora menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada di Jepang.
Tak ayal, perbedaan tersebut membuahkan tantangan tersendiri serta pengalaman berharga dan menarik dari Diaspora Indonesia yang hidup berdampingan dengan Budaya Jepang.
Salma Haq, Mahasiswi salah satu Universitas di Yogyakarta yang berkesempatan untuk mengikuti internship di Perusahaan Bakery Jepang berbasis dessert and cake, Domremy. Co. Ltd.
Salah satu tantangan pertama yang dihadapi oleh Salma saat tiba di Jepang yakni perbedaan musim. Saat itu, pada Maret 2020 tepat saat pergantian dari musim dingin ke musim semi, membuat suhu yang dirasakan cenderung lebih dingin dibanding Indonesia yakni berkisar 10-15 derajat celcius.
Selain itu, Salma menyatakan terdapat sedikit kesulitan dalam memahami kosa kata dan bahasa yang digunakan Masyarakat Jepang karena dialek dan cara berbicara mereka yang cukup cepat. Padahal sebelumnya Salma telah mempelajari Bahasa Jepang, akan tetapi memang bahasa yang ia pelajari lebih bersifat baku sementara yang digunakan adalah bahasa sehari-hari. Namun, Salma berupaya untuk menyesuaikan diri dengan rutin mendengar percakapan mereka dan mencoba untuk berbicara dengan rekan kerjanya yang merupakan masyarakat asli.
Perbedaan lainnya yakni cara kerja, baik dalam disiplin waktu hingga cara menghargai pekerjaan, cukup dirasakan oleh Salma selama kurang lebih 1,5 tahun berada di Jepang. Seperti yang kita ketahui, Jepang dikenal sebagai negara dengan masyarakat yang memiliki kedisiplinan tinggi terutama dalam ketepatan waktu.
“Saya sangat merasakan bagaimana orang Jepang menghargai waktu mereka dengan selalu tepat waktu. Jadi, kalau jam kerja dimulai pada pukul sembilan, maka pada jam tersebut harus sudah siap. Kita sebagai pekerja tidak boleh datang atau bahkan mulai terlalu cepat. Begitu pula saat istirahat, saya pernah masuk kembali ke bakery sepuluh menit lebih cepat. Setelah itu, saya ditegur dan disuruh untuk istirahat lagi,” jelas Salma saat diwawancarai.
Lain halnya kisah, Muhammad Arya Devanda, laki-laki berusia 24 Tahun yang bekerja di salah satu perusahaan penyepuhan listrik di Jepang.