"MENJADI ANJING PENJAGA PARA INVESTOR"
Tidak ada yang lebih khas dalam Zaman Imperialisme selain pergeseran dari tujuan nasional yang dilokalisasi, ke arah usaha meraih kekuasaan demi kekuasaan secara tidak terbatas yang dapat menjelajahi dan membinasakan seluruh bumi tanpa kejelasan negara atau kawasan mana yang dimaksud.
Kambuhnya Imperealisme ini menjadi jelas pula pada tataran ideologi, sebab Teori Domino yang terkenal itu, yang menyebutkan bahwa politik luar negeri Amerika merasa terdorong untuk menjalankan peran dalam suatu negara demi terpeliharanya keutuhan negara-negara lain, jelas merupakan sebuah versi baru dari permainan lama, yang aturan-aturannya memungkinkan, Â seluruh negara dijadikan semata-mata batu-loncatan dalam proses perluasan dan penumpukan kekuasaan yang tanpa henti.
Lalu bagaimana perkembangan Imperialisme dalam kontekas demokrasi sekarang? Hal inilah yang menjadi menarik untuk dikritisi, karena Imperialisme yang merupakan produk akhir abad ke-19 ternyata hanya mengganti bajunya dalam memasuki abad modern dengan baju investasi asing, yang kemudian disosialisasikan dengan konsep Globalisasi Pasar.
Dalam literatur Pembangunan Politik, disebutkan bahwa ekspansi-ekspansi sebagai tujuan utama dalam politik merupakan inti dari imperialisme, yang disulut oleh sejenis krisis ekonomi yang ganjil, yakni produksi modal yang berlebihan dan munculnya kelebihan uang hasil dari tabungan yang berlebih, yang tidak dapat lagi menemukan lahan investasi yang produktif di dalam negeri. Karena itu, untuk menghindari terjadinya penumpukan uang di dalam negeri, maka modal di ekspor ke luar yang sekarang lebih dikenal dengan konsep investasi asing.
Perkembangan kemudian menunjukkan kalau pemilik modal (kapitalisme global) merasa khawatir kalau ekspor modalnya tidak aman di negara tujuan, sementara disisi lain tidak mempunyai kemampuan untuk mengawal modalnya sendiri.
Menyadari kondisi rawan seperti itu, maka disadari kalau ekspor modal itu harus diikuti dengan ekspor kekuasaan untuk mengamankan modal. Segera setelah itu mencullah proteksi dalam bentuk ekspor kekuasaan. Artinya ekspansi apa pun yang dilakukan oleh negara-negara Barat ke negara sedang berkembang, pasti dilatar belakangi dengan alasan ekonomi, walaupun realitasnya di lapangan masih ada beberapa kasus yang lebih mendahulukan ekspor kekuasaan.
Untuk membenarkan tesis ini, kita bisa melihat kasus ekspansi Amerika Serikat yang menghancurkan negara Irak. Seperti kita ketahui Irak sebagai salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, sudah lama dibidik oleh Amerika Serikat untuk dikuasai minyaknya. Tetapi karena Irak dipimpin oleh seorang Saddam Husain yang menerapkan manajemen militer dalam mengendalikan kekayaan alamnya, maka Amerika harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan moment yang tepat untuk mengekspansi Irak.
Dengan alasan untuk membebaskan rakyat Irak dan dunia dari senjata kimia (pembunuh massal) yang di duga dimiliki Saddam Husain, maka Amerika Serikat mulai mengekspor kekuasaannya ke Irak. Setelah berhasil melumpuhkan Irak, Amerika Serikat kemudian melakukan ekspor modalnya untuk membangun industri minyak di negara taklukannya Irak.
Dari proses analisa penulis mengenai imperialisme yang bercirikan surplus modal dan surplus angkatan kerja yang selalu di ikuti dengan ekspor kekuasaan, maka ada dua hal menarik yang perlu di kedepankan. Pertama, di negara-negara yang sistem pemerintahannya masih cenderung otoriter, realitas yang mengemuka di publik adalah ekspor kekuasaan dulu harus dilakukan untuk menaklukkan pemerintahan yang otoriter tersebut.
Setelah invansi berhasil, menyusul kemudian adalah mengespor modal untuk membangun mesin uang dalam rangka mewujudkan konsep imperealis uang memperanakkan uang.
Kedua, di negara-negara yang sudah demokrasi, ekspor modal sudah menjadi pilihan utama untuk melakukan investasi, tanpa harus mendahulukan ekspor kekuasaan. Hal ini memungkinkan, karena di negara-negara demokrasi aturan-aturan yang bisa menghambat mengalirnya modal kapitalisme global sudah dicabut Seperti hal sekarang Dimana penyerderhanaan UU lewat UU Omnibus Law dilakukan oleh Negara untuk Memudahkan Akses dari Negara Luar yang kemudian menanamkan Modal "Investasi Asing" di negara Berkembang semisal indonesia.
Jadi semakin demokratis suatu negera semakin memberi peluang mengalirnya ekspor modal para kapitalis, dengan melibatkan negara tujuan untuk mengamankan investasinya Karena itu dalam dunia yang semakin mengglobal, demokrasi menjadi salah satu persyaratan utama negara kaya untuk membantu negara-negara Dunia Ketiga (Geopolitik Transaksional kian hadir dengan segitiga paradigmatik pasar global : Perusahaan-Produksi-Konsumen) Persyaratan ini menjadi sangat penting, karena dalam negara demokrasi penguasa akan dipermak oleh kapitalisme global menjadi anjing penjaga para rumah investor dan mengusir warga sendiri yang mencoba mendekati pagar rumah pemilik modal.
Persoalannya kemudian yang perlu dikritisi oleh negara-negara miskin, bahwa membangun dengan bantuan inevstasi asing, itu tidak pernah akan memakmurkan rakyatnya. Karena logika sederhana pun membenarkan kalau pemilik modal dari luar negeri tidak pernah akan menggunakan pendekatan sosial kemanusiaan dalam mengespor modalnya, tetapi selalu menggunakan perhitungan bisnis dan keuntungan modal.
Pemerintahan sekarang (Jokowi-amin) nampaknya perlu melakukan proses perenungan untuk menentukan sikap, menjadi anjing penjaga para kapitalisme global, atau berproses menjadi negara raksasa dengan melibatkan semua komponen bangsa untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terhampar luas di bumi Indonensia.
Kalau mau menjadi anjing penjaga para kapitalisme global, maka silahkan memanfaatkan terus fasilitas bantuan luar negeri yang ditawarkan lembaga Bretton Woods (Bank Dunia, IMF, WTO), yang sudah banyak terbukti tidak menyelamatkan negara yang dibantunya, tetapi justru menciptakan tingkat ketergantungan yang tinggi negara-negara dunia ketiga yang dibantunya (tidak terkecuali Indonesia)
Tetapi saya yakin bangsa Indonesia belum terlambat untuk menyatakan sikap sebagai bangsa yang besar dan kaya sumber daya alamnya.
Tidak gampang memang menentukan sikap untuk memutuskan ketergantungan kita sebagai bangsa, karena akan menimbulkan konsekuensi kegoncangan ekonomi nasional yang berimplikasi pada tingkat kemampuan rakyat memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Persoalannya kemudian kalau tidak dari sekarang mengurangi ketergantungan kita kepada dunia luar, maka semakin lama akan semakin menggurita lembaga Bretton Woods itu menggorogoti kekayaan alam negeri ini.
Karena sepanjang sejarahnya belum ada negara yang bisa membangun dengan baik negaranya selama tetap menggunakan fasilitas bantuan luar negeri. Terlebih bangsa Indonesia yang disebut-sebut negeri 1001 maling. (Maksudnya mulai dari maling sandal jepit sampai maling triliunan rupiah ada semua dan bercokol di bawah pantat Ibu Pertiwi).
Hal Yang Perlu di waraskan ialah : Salah satu Faktor yang melangengkan Kekuasaan adalah tidak hadirnya perLAWANan  !!!
Penulis : Fiki Gumeleng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H