Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengintip Bandung dari Gemerlap Jalan Braga

10 November 2022   13:04 Diperbarui: 10 November 2022   23:48 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SECARIK selebaran usang dari tahun 30-an, melayang-layang dalam imajinasi saya, manakala kami tiba. Ia menggelincir bersama hujan yang perlahan-lahan, setelah mengitari tiang lampu bergaya klasik, yang terpancang didepan bangunan-bangunan berarsitektur eropa abad pertengahan.

Kami sedang di Braga, seruas jalan utama sarat sejarah di tengah Kota Bandung, pada minggu malam. Setelah siang tadi berangkat menumpang kereta dari stasiun Gambir Jakarta selama 4 jam, ceritanya dapat anda simak pada artikel saya sebelumnya, Dari Gambir ke Bandung, dari Griya Tawang hingga Pedesaan

Jalanan Braga yang dibangun dari paving-block, menjadi pemisah puluhan gedung bertingkat dengan jendela kaca yang lebar disamping kiri-kanan. Jika anda pernah menonton film yang menampilkan emperan toko di New York atau di Eropa, bentuk bangunannya hampir sama, klasik. Pejalan kaki didepan dan pengunjung cafe yang duduk di sofa yang rapat pada dinding sebelah dalam, hanya disekat oleh jendela tadi.

Suara musik jazz yang berdendang dari cafe diseberang, bersahutan-sahutan dengan lagu a la DJ dari pub yang kami lewati. Belum lagi yang dari belasan cafe dan tempat karaoke. Membaur dengan kelap-kelip lampu yang berwarna kemerahan.

Gerimis dan hawa dingin rupanya tak membuat ribuan orang berhenti lalu lalang, bahkan makin meriah jelang tengah malam. Rupa-rupa anak muda dan orang tua mondar-mandir pada kedua sisi pedestrian, ditengahi kemacetan oleh kendaraan yang mengutara menuju Tugu Braga di perempatan jalan.

Disini para pengunjung khususnya muda-mudi, berpenampilan seperti yang saya lihat pada beranda toko pakaian di aplikasi oranye itu. Remaja penjual cilok dan gorengan dekat-dekat situ yang rupanya diperhatikan oleh salah satu teman, juga tampil keren layaknya anak band dengan sepatu sneakers dan setelan a la selebgram.

Teman yang ini juga sempat membandingkannya dengan kota lain yang kami datangi dua hari kemudian. Kata dia, pada perkara yang ini, kota Bandung menang jauh. Menurutnya penghuninya seperti yang ia lihat di Braga, lebih kota modis dan fashionable.

Terutama gadis-gadisnya. Tapi pembahasan soal ini tidak perlu diulas panjang lebar. Sebab perkara itu pula yang memicu imajinasi saya tentang secarik selebaran diawal tadi, yang berisi semacam peringatan bagi pelancong yang berkunjung ke Bandung pada awal-awal abad 19. Disitu ditulis:

Para tuan-tuan turis sebaiknya, tidak mengunjungi Bandung apabila tidak membawa istri atau meninggalkan istri di rumah"

Dari yang sempat saya baca, penamaan Braga berasal dari bahasa Sunda, 'ngabaraga' yang artinya bergaya. Dulunya di zaman Hindia-Belanda, bangunan-bangunan disini memang diperuntukkan sebagai butik atau toko pakaian, seperti halnya Paris di Eropa sana. Dari situlah julukan Bandung sebagai Parijs Van Java bermula.

Prof. Kuntjowijoyo dalam buku "Manusia dan Kebudayaan di Indonesia" mengatakan, salah satu ciri orang Sunda adalah mencintai dan menghayati keseniannya. Kalau dilihat-lihat, karakter itu yang melengket dalam struktur ekonomi-sosial mereka.

Sehingga dari logos itu, orang-orang Sunda sangat memedulikan keindahan. Kata seorang kerabat yang pernah merantau disana, saat menggelar lapak jualan stiker sekalipun, mereka tidak asal-asalan belaka, faktor estetika menjadi hal yang utama.

Ini juga tercermin dalam tata kota Bandung nyaman dipandang. Setidaknya itu yang saya lihat keesokan pagi, saat saya menyewa grab motor untuk sekadar berkeliling. Beberapa taman kota nan hijau dengan bangunan bergaya futuristik saya lewati.

Sepanjang jalan, pohon rindang menaungi pejalan kaki di pedestrian yang kadang menanjak kadang menukik, mengikuti morfologi geografis kota.Seperti di Braga, disana-sini bejibun spot foto yang instagramable, yang niscaya membuat anda takkan kekurangan feed dan story instagram.

Tampaknya, persentuhan budaya antara orang Sunda dan Eropa di Jalan Braga, membidani kelahiran pop-culture yang kita kenal sebagai Distro, distribution outlet. Coba diingat-ingat, kebutuhan sandang yang keren dan estetik bagi muda-mudi Indonesia generasi 90-an hingga sekarang-sekarang, berasal dari kota ini. Dari butik Eropa menjadi Distro orang Sunda. Namun ini spekulasi saya belaka, ygy.

Pada ujung selatan, jalan Braga bertemu dengan jalan bersejarah lainnya, Asia-Afrika. Disini pula, Tanah Sunda dan orang Nusantara memberikan sentuhan terbaiknya pada percaturan politik dunia.

Esok siang kami akan meninggalkan kota ini. Menuju Malioboro, Jogjakarta. Tak cukup semalam untuk menikmati Bandung dan jalan Braga tak memandai untuk meneropong Sunda secara keseluruhan. Namun tidak seperti lagu melankolisnya Peterpan, warnanya tak akan memudar dalam pikiran, bersama udara dinginnya yang akan selalu terngiang-ngiang.

Disini, di jalan yang gemerlap ini, ada tata kota yang perlu dipedomani, dan sentuhan warganya yang perlu diteladani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun