Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kebisingan Polusi Politik

30 Oktober 2018   23:19 Diperbarui: 31 Oktober 2018   07:40 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


SEMENJAK 2014 berlalu, ruang media sosial kita terpapar polusi politik.  Remah-remah pilpres yang mempertemukan Joko Widodo dan Prabowo masih tercecer diruang kebangsaan kita, yang tampaknya semakin lusuh mengkusam jelang 2019 ini.

Sungguh tidak sekualitas dulu, 4-5 tahun lalu saat kita memperdebatkan lebih hebat mana, Messi atau Ronado.  Atau mungkin debat-debat itu lebih berbobot sebab kedua pesohor itu hadir dengan kualitas personalnya. Jomplang dengan penampilan Jokowi dan Prabowo. 

Publik kita hanya disuguhi narasi-narasi politik yang tidak mencerdaskan. Balada Ratna Sarumpaet misalnya, jika seorang pesohor sekelas Goenawan Mohammad menyebut hal ini adalah perkara besar, bagi saya ini adalah perkara kecil yang mestinya tak dikapitalisasi demi kepentingan politik ke ruang-ruang publik.

Sama halnya dengan pembakaran bendera tauhid (atau bendera HTI, tergantung dari mana anda melihatnya seperti istilah Made Supriatma), bagi saya ini persoalan yang tak harus terjadi. Kita harus lebih dapat menahan diri. Sebab muaranya hanya akan terpolitisasi lagi oleh kelompok tertentu.

Dengan psikologi mayoritas warganet yang lebih menggunakan pendekatan emosi dan keyakinan personal, ditambah pilihan politik yang dianut, perkara-perkara yang sungguh tak penting semacam itu teramplifikasi dengan mudah di lini masa kita.

Maka terproduksilah kebohongan-kebohongan (hoax) dari kiri dan kanan kita. Dondisi mutakhir, parahnya informasi-informasi hoax lebih berpengaruh ketimbang fakta yang sebenarnya.

Seturut kemudian, warganet lalu terlibat dalam kebisingan-kebisingan (noise). Kita terjebak dalam pusaran itu. Ismail Fahmi,seorang pakar multi media menyebut noise yang ekuivalen dengan hoax, diciptakan untuk meredam noise-noise sebelumnya. Lalu dibalas lagi. Seperti saat kita saling "piu" di chatingan WhatsApp.

Lalu dari hitungan 1, 2, 3, anda semakin lelap, seperti hitungan ahli hipnotis di teve-teve itu. Semakin dalam, semakin kita hanyut dalam narasi tidak substansi macam itu. Kita luput, ada persoalan yang lebih penting yang mestinya lebih menjadi sorotan.  

Kita lupa. Ada banyak kebijakan yang harus dikritik. Ada banyak keputusan-keputusan pemerintah yang perlu diperbaiki. Masih banyak janji-janji yang perlu ditagih. Masih banyak orang-orang menderita termajinalkan yang terlewat dari perhatian.  

Di kampung  kami di Luwu Utara, orang Seko Tengah mesti dibela untuk mepertahankan hak ulayatnya dari invasi investasi. Perda RTRW-nya juga wajib dikawal agar perusahan-perusahaan sawit tidak seenaknya melanggar. 

Di Palopo, Kejaksaan harus dituntut untuk menuntaskan dugaan kasus korupsi Jalan Lingkar Barat atau perusahaan milik daerah Zaro Snack, yang menghabiskan bujet melimpah tapi ujungnya gulung tikar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun