Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Rongkong, Terpinggirkan di Tepi Zaman

31 Oktober 2017   18:06 Diperbarui: 2 November 2017   17:10 2263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RODA besi ini adalah pengganti kaki-kaki kerbau, kata saya sambil memegang roda traktor yang baru dibeli si om, pagi tadi. Ia yang sedang mengunci baut traktor barunya itu, mendadak tertawa terbahak-bahak.

Zaman memang dengan cepatnya berubah. Dulu, saat umur tujuh tahunan, saya masih ingat, kami membajak sawah dengan belasan kerbau milik kakek. Dengan tali pecut dari rotan, kami menuntun kerbau-kerbau itu memutari sawah.

Kadang, saat kerbau keluar jalur, kakek marah bukan kepalang. Malah kami yang dikejar sambil mengayun tali rotannya itu.

Sekarang berbeda. Di kampung kami amat jarang warga membajak sawahnya dengan kerbau. Empat kaki milik Pokki, demikian nama salah satu kerbau itu, kini telah digantikan roda besi dari traktor merek cina yang harganya cukup terjangkau.

Tak ada lagi teriakan kakek dari pematang, juga tak lagi terdengar ayunan tali rotan tuanya itu.

Memang banyak yang dengan cepatnya berubah.

Kecuali jalan ke kampung kami di ketinggian sana, Rongkong Tana Masakke.

***

DI lembah itu, hawa semakin dingin. Lumpur setengah lutut membuat ban motor bebek kami terseok, hingga perlu didorong sejauh hampir enam meter. Bagi sebagian orang, jalan ini lebih layak disebut kubangan ketimbang dinamai jalan.

Selemparan batu dari sana, reruntuhan tanah bekas longsor semalam kembali di jumpai, ditemani jurang ratusan kaki yang menganga disebelah kanan, yang membuat sungai dibawahnya hanya terlihat seukuran jari kelingking.  

Beberapa bulan silam, sebuah artikel media lokal mengeposkan keluhan warga salah salah satu kecamatan di Luwu Utara, tentang jalan sekitar pemukiman mereka yang berlubang digenangi bekas hujan.

Bahkan, mereka menyampaikan protes dengan menanam pohon pisang pada lubang jalan itu. Di kecamatan tersebut, sebagian akses transportasi utama telah beraspal. Namun jika musim hujan, bekas luapan sungai membuat  jalan-jalan becek berlumpur.

Bibir saya sepertiga tersenyum. Bagi warga Rongkong, jalanan tadi sesungguhnya mesti tak menjadi soal. Toh, punya jalan setapak seluas 60 senti di kampung sudah menjadi kesyukuran. Terlebih yang dapat dilalui roda empat.

Memang, sebagian desa di dataran tinggi itu tak dapat diakses mobil. Padahal, kata para tetua,  jaman kompeni dulu, mobil sejenis hardtop dan truk lalu lalang di depan teras rumahnya. Ironi.

Tana Rongkong, hingga kini memang masih terpencil. Saat "saudara-saudaranya" telah berkembang di sentuh kemajuan zaman, tanpa menafikan perkembangan yang telah ada, Rongkong yang sekarang tak terlalu beda jauh dengan 10 tahun silam.

Padahal, setidaknya bagi saya, Rongkong ibarat harta karun. Banyak hal yang berbaring tersembunyi zaman disana. Kekayaan budaya tak terkelola. Hasil alamnya juga masih tak terjamah. Jangan lupa pula potensi wisatanya.

Buntu Tabuan, Rongkong (Foto: Ikhsan Photowork)
Buntu Tabuan, Rongkong (Foto: Ikhsan Photowork)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, begitu sila kelima Pancasila dilafalkan. Namun, maknanya masih saja terasa hambar. Pancasila, "hanya" dimuliakan dalam ucapan, dibanggakan lewat tulisan, namun dihinakan dalam perbuatan. Kurang lebih begitu kata Syafi'i Maarif dalam pidato kebangsaannya, di suatu waktu.

Sila kelima itu, sudah lama menjadi "anak yatim". Keadilan yang semestinya menyasar semua, hanya dituang diruang-ruang tertentu, sehingga hanya "mereka" merasainya, bukan kami di Rongkong sana.

Keran-keran keadilan sepertinya hanya mengaliri dataran rendah; airnya tak sanggup menanjaki pegunungan disekeliling kampung kami. Tak mampu menembus lebatnya dahan pinus yang mengitari Tana Masakke.

Dalam kamus, kata "kami" berarti berbicara atas nama kelompok, sedang "kita" dimaknai  sebagai suatu kebersamaan dalam suka-duka. Begitupun dalam politik identitas, dua kata itu memiliki penekanan yang berbeda; yang satu eksklusif,  satunya lagi inklusif.

Dan sepertinya, sila kelima itu adalah "kami", bukan "kita". Hanya untuk mereka. Bukan untuk kita, di Rongkong sana.

***Zulfiqar Rapang, Anak Muda Komba Rongkong

Baca pula:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun