Bahkan, mereka menyampaikan protes dengan menanam pohon pisang pada lubang jalan itu. Di kecamatan tersebut, sebagian akses transportasi utama telah beraspal. Namun jika musim hujan, bekas luapan sungai membuat  jalan-jalan becek berlumpur.
Bibir saya sepertiga tersenyum. Bagi warga Rongkong, jalanan tadi sesungguhnya mesti tak menjadi soal. Toh, punya jalan setapak seluas 60 senti di kampung sudah menjadi kesyukuran. Terlebih yang dapat dilalui roda empat.
Memang, sebagian desa di dataran tinggi itu tak dapat diakses mobil. Padahal, kata para tetua, Â jaman kompeni dulu, mobil sejenis hardtop dan truk lalu lalang di depan teras rumahnya. Ironi.
Tana Rongkong, hingga kini memang masih terpencil. Saat "saudara-saudaranya" telah berkembang di sentuh kemajuan zaman, tanpa menafikan perkembangan yang telah ada, Rongkong yang sekarang tak terlalu beda jauh dengan 10 tahun silam.
Padahal, setidaknya bagi saya, Rongkong ibarat harta karun. Banyak hal yang berbaring tersembunyi zaman disana. Kekayaan budaya tak terkelola. Hasil alamnya juga masih tak terjamah. Jangan lupa pula potensi wisatanya.
Sila kelima itu, sudah lama menjadi "anak yatim". Keadilan yang semestinya menyasar semua, hanya dituang diruang-ruang tertentu, sehingga hanya "mereka" merasainya, bukan kami di Rongkong sana.
Keran-keran keadilan sepertinya hanya mengaliri dataran rendah; airnya tak sanggup menanjaki pegunungan disekeliling kampung kami. Tak mampu menembus lebatnya dahan pinus yang mengitari Tana Masakke.
Dalam kamus, kata "kami" berarti berbicara atas nama kelompok, sedang "kita" dimaknai  sebagai suatu kebersamaan dalam suka-duka. Begitupun dalam politik identitas, dua kata itu memiliki penekanan yang berbeda; yang satu eksklusif,  satunya lagi inklusif.
Dan sepertinya, sila kelima itu adalah "kami", bukan "kita". Hanya untuk mereka. Bukan untuk kita, di Rongkong sana.
***Zulfiqar Rapang, Anak Muda Komba Rongkong