CARL Sagan, salah satu astronom Amerika berkata, bahwa nun jauh dari angkasa, bumi hanya terlihat layaknya sebuah titik kecil yang berwarna biru puncat. Di titik kecil itu, kata Sagan, segala antonim teraduk menjadi satu; yang baik dan yang buruk, yang bersih dan yang kotor , yang jujur dan yang dusta.
Di hari-hari ini, agaknya perumpamaan itu dapat pula kita dapati di sebuah aplikasi kecil yang ukurannya tak lebih dari 200 megabit, Facebook.  Meski renik, aplikasi besutan  Zuckerberg itu kini menjelma menjadi tempat "hidup" milyaran umat manusia. Tak salah jika dari sanalah istilah "dunia maya" tiba, dunia "lain"yang juga eksis di titik kecil Sagan tadi, sebagai antonim dari dunia nyata. Â
Yang berbeda, nampaknya Facebook kini tak lagi setala dengan  slogannya; bertaut dan berbagi. Setidaknya itu yang dapat kita saksikan di hari-hari ini. Facebook, Oleh pemakainya, Facebook kini telah bergeser dari dari tempat untuk berteman dan berbagi informasi dalam kebaikan, menjadi ajang untuk saling meruncingkan permusuhan dan membagikan kabar-kabar dusta minus faedah.
Tengok saja lini masa kita. Kabar-kabar dusta (hoax) yang berbau politik berhamburan, yang sayangnya begitu mudahnya dipercayai warga maya tanpa verifikasi, lalu di-share ratusan kali. Pasca pilkada misalnya, disana juga, berseliweran para aktivis, tim sukses, dan jelata  yang calonnnya kalah di pilkada, melontar komentar dan kritik atas dasar kekalahan (atau mungkin dendam?), tanpa basis pengetahuan dan mengedepankan nalar intektualitas sama sekali.
Di Facebook, mereka yang kandidatnya menang tak kalah banyak pula. Mereka berdiri mendongak seolah merekalah bupati atau gubernur terpilih. Segala keputusan bupati---yang baik yang benar dan yang mereka ketahui salah, mereka wajib berdiri baik pasukan Spartan dibelakangnya. Demikian linimasa kita terlihat pasca pilkada. Apalagi saat pilkada, tentu lebih gaduh riuh rendah.
Belum lagi ihwal agama dan alirannya, lebih mengkhawatirkan lagi. Ada pengguna Facebook yang dengan modal berselancar di google, membaca sepotong ayat dari kitab tertentu, membaca dan mendengar ujaran dari orang-orang yang kelimuannya dipertanyakan, lalu kemudian mereka menafsir bahwa si fulan kufur, golongan sana pasti masuk neraka.
Dan tentu, mereka sudah meng-kavling surga. Yang seperti ini jamak ditemui, apapun agama dan alirannya. Tapi tidak termasuk anda, kan?.
Sama saja. Pada Facebook sebagai replika titik kecil Sagan, soal adat dan budaya, juga soal ekonomi dan pendidikan, apalagi soal kehidupan para pesohor di negeri ini, kini telah minim dialektika.
Tentu adalah pengecualian bagi mereka yang berpikir jernih beralas kebijaksanaan; yang mengecap informasi dengan verifikasi, yang berkomentar santun atas dasar pengetahuan, yang membagikan tautan dan kabar berbasis kebaikan. Mereka yang tidaklah termasuk golongan yang dikatakan Zen RS, mereka yang malas membaca namun rajin berkomentar.
Budaya baca memang menjadi kunci. Berbahasa---baik lisan ataupun tulisan, mesti didahului dengan pengetahuan, dalam hal ini membaca. Keberpihakan, pemosisian, atau perasaan tententu wajib berbasis pada pengetahuan. Dalam tesis klasik filsafat, manusia dikatakan sebagai sebagai makhluk berpikir, konsewensi logis dari tesis itu adalah manusia adalah mahhluk berbahasa. Dengan demikian, cara berbahasa manusia ditentukan oleh alur pengetahuannya.
Sisa kita memilih mana, menjadi warga maya santun dan berpengetahuan di kanal facebook, ataukah menjadi antitesa dari itu semua.[]
**Penulis adalah anak muda Rongkong, Alumni UNCP Palopo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H