SAYA Muslim. Dan di kampung saya, menjadi berbeda adalah hal sudah lumrah. Bicara agama umpamanya, tak sedikit kerabat dekat yang beragama berbeda, Nasrani khususnya. Kala Kahar Muzakkar memberontak pada Republik, pasukannya menyasar Sulawesi; dari kota hingga daerah ke pedalaman, termasuk pegunungan Kambuno yang dihuni komunitas Rongkong, dimana saya berasal.
Sebelum pasukan Kahar tiba, keluarga kami selain penganut animisme, sebagian dari mereka adalah pemeluk Nasrani yang mereka kenal saat Belanda menjajah. Pasukan Kahar pun tiba dan mendakwahkan Islam serta menghimbau penduduk untuk berpindah keyakinan, bahkan dengan cara radikal; dari sanalah leluhur kami memilih keyakinan yang beda.
Dengan keyakinan yang plural dan prinsip sinkretisme, bagi mereka, tak menjadi soal untuk hidup berdampingan dalam kemajemukan. Pun dalam memilih pemimpin, bagi keluarga bukanlah menjadi hal yang mesti diperdebatkan. Walau calonnya Muslim, tetapi secara kapasitas dan kapabilitas dianggap memenuhi, maka kerabat Nasrani pun akan memilihnya. Begitupun sebaliknya.
***
LALU, tiba-tiba kita diperhadapkan dengan Ahok dan dugaan penistaan agama yang dia lakukan. Perhatian banyak orang teralihkan. Masyarakat terbelah; terlebih dalam Islam. Lihat saja di lini masa media sosial, penuh dengan mereka yang adu tafsir terkait masalah ini. Padahal, terlalu banyak masalah bangsa yang lebih penting ketimbang orang ini, kata PBNU Aqil Siradj.
Selain pemilihan kalimat oleh Ahok saat berkomentar tentang tafsir Al Maidah 51 yang meninggalkan kesan peyoratif dan satir, semestinya bagi saya, hal ini tak perlulah dibesar-besarkan. Kita mungkin sama-sama tak sepakat dengan ucapan Ahok yang “melampaui” dirinya; mengomentari sebuah ayat dalam kitab yang bukanlah keyakinannya; atau kita juga sekata bahwa Ahok “mengambil peran” para penafsir Qur’an dengan implisit seolah menafsir ayat yang eloknya tak dia lakukan.
Dalam Islam sendiri, ayat ini sendiri memang mengundang tafsiran berbeda (debatable), khususnya lema “auliya” yang bagi sebagian muslim, dipadankan dengan lema “pemimpin”. Ada pula yang menyandingkan dengan kata “teman sejati”. Pun, tentulah tak pantas pula saya menilai dan menafsir yang mana benar-salah. Biarkan itu menjadi wilayah mereka yang memang kepakarannya disana.
Adalah tepat jika persoalan ini bergulir dan diselesaikan diranah hukum negara kita. Tetapi menggiring masalah ini ke soal suku, agama, dan ras, amatlah sungguh keterlaluan.
Yang saya amati, sungguh berbahaya bagi bangunan ke-bhinekaan, adalah apabila persoalan ini ditarik-tarik, alih-alih tentang ucapan Ahok itu, tetapi kepada tampilnya Ahok sebagai calon pemimpin yang latar belakang keyakinan dan suku bangsa yang berbeda dengan kebanyakan. Jika dirunut, penolakan sebagian orang terhadap Ahok telah mencuat saat dirinya menggantikan tahta Jokowi sebagai orang nomor wahid di DKI.
Penolakan dengan tendensi keagamaan semacam ini ternisbatkan hampir ke semua agama. Presiden Amerika, JF. Kennedy yang dikenal humanis, cerdas dan anti-perang, tewas tertembak tahun 1963. Kala itu, Kennedy yang Katolik memimpin negeri Paman Sam yang mayoritas Protestan. Pembunuhan keji ini pun ditengarai akibat penolakan Ku Klux Klan (KKK), kelompok Protestan sayap kanan yang menolak pemimpin seorang Katolik.
Begitu pula konflik mayoritas-minoritas berbasis agama yang terjadi di Irlandia Utara, tahun 1969, bahkan hal ini berlangsung lebih kurang 30 tahun. Tak usah disebut lagi yang di timur tengah. Ruhani Dzuhayatin dalam Fiqih Kebhinekaan menyebut bahwa memang hal tidak baik ini adalah momok menakutkan dan telah menjadi fenomena global yang menghiasi perjalanan sejarah dunia.
Memilih calon pemimpin dengan preferensi kesamaan keyakinan dan kesukuan tidaklah dilarang. Namun merendahkan hingga memarjinalkan mereka yang berbeda cara ibadah dan ukuran kelopak mata yang tak sama, adalah pengkhianatan terhadap ajaran pancasila sebagai dasar bangsa Indonesia.
Dalam bingkai ke-Indonesia-an adalah tak adil, misalnya jika kita lebih memilih calon pemimpin yang beragama Islam, namun rekam jejaknya tak islami; korupsi, dengki, serakah, atau arogan. Akan lebih baik jika memilih rivalnya yang meski agamanya berbeda, namun bersih dan dapat diteladani.
Dan, pun begitu sebaliknya, penganut agama dan suku bangsa yang berbeda seharusnya dapat pula berlaku adil dalam berpikir. Saya kadang berasumsi, Jika saja Ahok bukanlah orang jujur dan bersih, mungkin sebagian saudara-saudara kita tetap akan memilihnya, dengan alasan kesamaan keyakinan dan se-suku bangsa dengan Ahok.
Nila-nilai kebangsaan kita tak boleh dibiarkan rusak oleh oknum-oknum antagonis yang ingin memonopoli bangsa atas nama agama, ideologi dan semacamnya. Luka bangsa yang pernah tertoreh tak perlu terulang lagi. Bumi Indonesia bukan hanya untuk sekelompok orang saja, tetapi untuk semua anak manusia dengan mimpi luhur yang sama, dengan segala corak dan warna yang berbeda.
Jika ada yang memberikan pandangan yang berbeda, umpamanya pro-Ahok, tak harus selalu di stereotip-kan sebagai orang kafir. Dan mereka yang menolak, tak harus pula dianggap sekoyong-koyong dianggap sebagai muslim radikal.
Di media sosial, terlalu banyak postingan dan komentar yang saling caci serta saling merendahkan. Tak hanya yang menolak Ahok, sebagian dari mereka yang pro-Ahok, dengan latar belakang pendidikan yang mencukupi, banyak yang terjebak dalam kesalahan berpikir; merasa paling benar, tak lagi bijak, bahkan terkesan memaksakan cara berpikirnya kepada mereka yang berbeda. Saya mengistilahkannya sebagai Intelektual Radikal.
Padahal, tak semua yang menolak Ahok didasari atas pengetahuan keagamaan dan permalahan yang menyeluruh. Mereka hanya turut berseru sebagai panggilan nurani untuk berpihak dan menyokong agamanya, yang mereka anggap telah dinodai. Maka mengkritik mereka dengan pemilihan bahasa yang ofensif tidaklah tepat. Alih-alih memberikan pencerahan, malah disangka menyinggung keyakinan mereka.
Sesama muslim yang pro-Ahok pun tidak selayaknya dihujat bahkan dinilai kafir kala mereka mengungkapkan pendapatnya. Semestinya, kita memang tidak harus latah dengan perbedaan. Tugas kita merawat semangat kebhinekaan yang dirintis para pendahulu republik kita, termasuk di dalamnya para ulama, yang merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara.
Siapapun dia, apapun suku dan agamanya, harus sama-sama belajar untuk menumbuhkan sikap dan membumikan penghargaan atas kemajemukan. Indonesia kita yang terdiri dari banyak suku bangsa, agama, dan mazhab harus siap untuk hidup berdampingan. Dengan demikian, kita dapat berdamai dengan perbedaan.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H