Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ahok dan yang Tersisa Setelah 411

12 November 2016   16:56 Diperbarui: 12 November 2016   17:47 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SAYA Muslim. Dan di kampung saya, menjadi berbeda adalah hal sudah lumrah. Bicara agama umpamanya, tak sedikit kerabat dekat yang beragama berbeda,  Nasrani khususnya. Kala Kahar Muzakkar memberontak pada Republik, pasukannya menyasar Sulawesi; dari kota hingga daerah ke pedalaman, termasuk pegunungan Kambuno yang dihuni komunitas Rongkong, dimana saya berasal.

Sebelum pasukan Kahar tiba, keluarga kami selain penganut animisme, sebagian dari mereka adalah pemeluk Nasrani yang mereka kenal saat Belanda menjajah. Pasukan Kahar pun tiba dan mendakwahkan Islam serta menghimbau penduduk untuk berpindah keyakinan, bahkan dengan cara radikal; dari sanalah leluhur kami memilih keyakinan yang beda.

Dengan keyakinan yang plural dan prinsip sinkretisme, bagi mereka, tak menjadi soal untuk hidup berdampingan dalam kemajemukan. Pun dalam memilih pemimpin, bagi keluarga bukanlah menjadi hal yang mesti diperdebatkan. Walau calonnya Muslim, tetapi secara kapasitas dan kapabilitas dianggap memenuhi, maka kerabat Nasrani pun akan memilihnya. Begitupun sebaliknya.

***

LALU, tiba-tiba kita diperhadapkan dengan Ahok dan dugaan penistaan agama yang dia lakukan. Perhatian banyak orang teralihkan. Masyarakat terbelah; terlebih dalam Islam. Lihat saja di lini masa media sosial, penuh dengan mereka yang adu tafsir terkait masalah ini. Padahal, terlalu banyak masalah bangsa yang lebih penting ketimbang orang ini, kata PBNU Aqil Siradj.  

Selain pemilihan kalimat oleh Ahok saat berkomentar tentang tafsir Al Maidah 51 yang meninggalkan kesan peyoratif dan satir, semestinya bagi saya, hal ini tak perlulah dibesar-besarkan. Kita mungkin sama-sama tak sepakat dengan ucapan Ahok yang “melampaui” dirinya; mengomentari sebuah ayat dalam kitab yang bukanlah keyakinannya; atau kita juga sekata bahwa Ahok “mengambil peran” para penafsir Qur’an  dengan implisit seolah menafsir ayat yang eloknya tak dia lakukan.

Dalam Islam sendiri, ayat ini sendiri memang mengundang tafsiran berbeda (debatable), khususnya lema “auliya” yang bagi sebagian muslim, dipadankan dengan lema “pemimpin”. Ada pula yang menyandingkan dengan kata “teman sejati”. Pun, tentulah tak pantas pula saya menilai dan menafsir yang mana  benar-salah. Biarkan itu menjadi wilayah mereka yang memang kepakarannya disana.

Adalah tepat jika persoalan ini bergulir dan diselesaikan diranah hukum negara kita. Tetapi menggiring masalah ini ke soal suku, agama, dan ras, amatlah sungguh keterlaluan.  

Yang saya amati, sungguh berbahaya bagi bangunan ke-bhinekaan, adalah apabila persoalan ini ditarik-tarik, alih-alih  tentang ucapan Ahok itu, tetapi kepada tampilnya Ahok sebagai calon pemimpin yang latar belakang keyakinan dan suku bangsa yang berbeda dengan kebanyakan. Jika dirunut, penolakan sebagian orang terhadap Ahok telah mencuat saat dirinya menggantikan tahta Jokowi sebagai orang nomor wahid di DKI.

Penolakan dengan tendensi keagamaan semacam ini ternisbatkan hampir ke semua agama. Presiden Amerika, JF. Kennedy yang dikenal humanis, cerdas dan anti-perang, tewas tertembak tahun 1963. Kala itu, Kennedy yang Katolik memimpin negeri Paman Sam yang mayoritas Protestan. Pembunuhan keji ini pun ditengarai akibat penolakan Ku Klux Klan (KKK), kelompok Protestan sayap kanan yang menolak pemimpin seorang Katolik.

Begitu pula konflik mayoritas-minoritas berbasis agama yang terjadi di Irlandia Utara, tahun 1969, bahkan hal ini berlangsung lebih kurang 30 tahun. Tak usah disebut lagi yang di timur tengah. Ruhani Dzuhayatin dalam Fiqih Kebhinekaan menyebut bahwa memang hal tidak baik ini adalah momok menakutkan dan telah menjadi fenomena global yang menghiasi perjalanan sejarah dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun