Masalah pertama adalah masalah ibadah. Nabi memerlukan masjid untuk shalat karena perintah shalat sudah berlaku seusai Isra Mikraj. Masalah kedua adalah  kesenjangan sosial (social gap) antara kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah mereka  bahu-membahu membangun pranata sosial, termasuk membangun pasar sebagai soko guru ekonomi.
Namun selain kaum Anshar, ada komunitas lain di Madinah, yakni Yahudi dan Nasrani. Ada tiga komunitas Yahudi di Madinah berkonflik secara internal, yakni Qunaiqah, Â Quraizhah, dan Nadhir. Mereka dilarang untuk melakulan dua hal, yakni membunuh dan mengusir sesama mereka. Namun larangan itu tak diindahkan.
Tak pelak pada 622 masehi Nabi dan semua komunitas yang tinggal di Madinah membuat kesepakatan bersama yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Madinah. Tujuannya adalah untuk membangun tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Namun sayang Yahudi kemudian  melanggar perjanjian itu.
Kalau dipetakan, problematika dakwah Nabi pada periode Madinah menyasar empat persoalan. Pertama, Â persoalan internal, seperti pembinaan akidah, syariah, akhlak, dan muamalah di kalangan umat Islam. Kedua, persoalan umat Islam dan Kristen Najran yang kemudian berakhir damai.
Ketiga persoalan umat Islam dan Yahudi yang memunculkan peperangan, seperti Perang Khaibar pada 629 Masehi. Keempat, problem yang masih muncul dari kaum kafir Mekah. Terbukti dengan terjadinya Perang Khandaq pada 627 Masehi dimana Yahudi bersekutu dengan kafir Quraish.
Untuk mengatasi problematika dakwah pada periode Mekah, Nabi melakukan serangkaian upaya seperti  membentuk sistem politik di Madinah hingga jadi Negara Madinah. Nabi juga memperkuat barisan militer dan tatana sosial-ekonomi  berdasar ajaran Islam.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H