KPI oh KPI...
Ibarat macan ompong yang ingin menerjang belantara hutan baru nan asing. KPI yang selama ini dianggap gagal dalam mengurus frekuensi publik (siaran televisi), justru sesumbar ingin mengawasi tayangan digital di YouTube dan Netflix.
Logika inilah yang menjadi tentangan masyarakat khususnya kalangan yang sudah jengah dengan tayangan televisi selama ini. KPI pun dianggap reaktif hanya karena tekanan dari beberapa golongan, bukan karena kesadarannya sendiri menegakkan aturan.Â
Salah satu contoh kasus yang ramai adalah tayangan iklan salah satu marketplace yang menggunakan brand ambassador girl band asal Korea. Alasannya karena dianggap berpakaian tidak islami, mengenakan rok mini yang mengumbar aurat.
YouTube dan Netflix sudah Punya Panduan Sendiri Tentang Konten Dewasa
Masyarakat menentang rencana KPI mengawasi Netflix dan YouTube karena kedua platform digital terpopuler di Indonesia saat ini sudah memiliki aturan dan  upaya preventif agar anak-anak yang belum cukup umur terlindungi dari konten dewasa.
YouTube punya fitur parental control bahkan sudah punya aplikasi YouTube Kids yang ditujukan khusus untuk anak-anak. Justru di sinilah peran aktif orang tua mereka dalam mengawasi anak-anaknya, bukan KPI.Â
Alih-alih mengawasi tayangan digital dengan jumlah jutaan per harinya, seharusnya KPI mensosialisasikan fitur-fitur ini kepada masyarakat.
Â
Mustahil KPI bisa mengawasi semua tayangan di Youtube, mengurus frekuensi publik saja banyak kecolongan.
Dalam fitur parental control malah disediakan filtering terutama untuk kata-kata sensitif yang dikehendaki.
Lalu bagaimana dengan Netflix? Sebagai tayangan digital yang diakses secara global, Netflix sadar bahwa di setiap negara punya aturannya sendiri. Standar konten dewasa atau tidak juga pasti berbeda. Itulah sebabnya tayangan berbayar seperti Netflix saja menyediakan fitur kolaborasi dengan pelanggannya.Â
Jika ada tayangan yang dianggap sensitif, bisa dilaporkan atau mengaktifkan PIN sebagai sistem keamanan dan penyesuaian profil untuk tayangan-tayangan apa saja yang bisa muncul atau disembunyikan.Â
Kriteria rating tayangan di Netflix:
Little Kids untuk semua umur.
Older Kids untuk anak di atas 7 tahun.
Teens untuk remaja di atas 13 tahun.
Mature untuk remaja di atas 16 tahun.
Kriteria ini yang dibuat oleh Netflix, tetapi tetap pengaturannya bisa disesuaikan dengan kehendak para pelanggannya sendiri.
KPI Lebih Baik Fokus Edukasi Masyarakat
Era terbuka saat ini bukan saatnya lagi serba dibatasi. Justru KPI seharusnya mulai membuka diri apa sebenarnya yang diinginkan masyarakat. Mengapa sekarang banyak orang yang meninggalkan televisi. Apalagi dengan berita gonjang-ganjing efisiensi Net TV menunjukkan bahwa tayangan berkelas saja belum tentu sesuai dengan target marketnya.
Belum lagi dengan senjakala radio yang kini banting harga sampai jualan iklan obat perkasa. Coba dengar tayangan-tayangan radio di daerah Jawa Tengah.Â
Saya sampai kaget karena hampir semua tayangan radio di daerah sudah jadi sales berbagai macam obat. Kebetulan saat mudik Lebaran kemarin selama perjalanan saya selalu mengaktifkan radio.
Jika KPI ingin mengawasi platform digital seharusnya content creator-nya yang ditegur, bukan malah penontonnya yang dikasih kacamata kuda. Langkah Kominfo dengan memanggil Kimi Hime sudah benar.Â
Sedangkan untuk netflix agak sulit, karena masyarakat membayar untuk bisa menonton. Udah bayar kok diatur-atur, gitu kira-kira anggapan sederhananya.
Rencana pengawasan ini juga sepertinya masih belum matang. Terlebih ide pengawasan yang diajukan oleh Ketua KPI baru Agung Suprio dibantah oleh Hardly Stefano, komisioner KPI yang lain seperti dikutip dari Tirto.
"Statement Agung Suprio yang memunculkan wacana tersebut di ruang publik, adalah statement personal yang terburu-buru, prematur dan pada akhirnya menimbulkan kegaduhan. Karena belum pernah dibahas dan diputuskan dalam forum resmi KPI, yaitu rapat pleno anggota KPI," ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin (12/8/2019).
Olalah, ternyata ketua baru. Jangan-jangan cuma gimmick atau cari sensasi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI