Kontestasi politik selama Pemilu 2019 harus diakui sudah membuat polarisasi yang amat renggang, bukan hanya diantara teman dan sahabat bahkan hingga keluarga.
Tak terhitung berapa pasangan yang pisah ranjang karena beda pilihan. Tak terbilang berapa orang tua yang bersitegang karena sang anak dianggap membangkang karena beda pandangan.
Harus diakui bahwa pemilu 2019 lebih panas dan lebih tegang dibandingkan dengan pemlilu 2014.Â
Masing-masing kubu kukuh dengan argumennya. Sementara hukum sudah dianggap angin lalu. Kondisi demikian bukan hanya membahayakan keutuhan bangsa tapi juga kebersamaan keluarga.
Momen Idul Fitri 1440 H inilah yang menjadi momentum tepat untuk menyatukan lagi sikap dan pandangan bahwa cita-cita dan gagasan politik tak lebih tinggi daripada keutuhan bangsa dan keluarga.
Pemilu boleh panas, tapi setelah itu harusnya kedua belah kubu bisa dewasa dalam bersikap dengan segala keputusan hukum yang ada. Yang menang tidak jumawa yang kalah tidak memaksakan kehendaknya.
Yang muda harus luluh dan melunak untuk merangkul kelompok yang tua. Yang tua harus berbesar hari menyambut rekonsiliasi. Keduanya harus bisa menahan diri dan melupakan semua ketegangan yang pernah terjadi.
Jika momen ini tidak dimanfaatkan dengan baik, lantas kapan lagi?
Para elite politik sudah saatnya menahan komentar komentar yang tak membuat kuping panas simpatisan dan pendukungnya. Seperti imbauan Muhammadiyah dan para sesepuh NU. Para elit harus mencontohkan bahwa keutuhan bangsa dan mengawal Pancasila adalah yang paling utama.
Momen Lebaran kali ini juga menjadi momen untuk menyetop semua komentar politik di WAG keluarga. Karena pada dasarnya setiap kubu akan bertahan dengan argumennya.