Sebelum saya memulai bercerita, sosok ini mungkin menjadi sosok yang kontroversial di kalangan awam. Tapi, di kalangan orang Bandung. Sosok Jalaluddin Rakhmat bukan sosok yang asing. Kang Jalal, sapaan akrabnya dikenal sebagai salah satu penceramah sekaligus dosen salah satu Universitas Negeri terkemuka di tanah Pasundan.
Kang Jalal yang saya kenal adalah sosok yang sederhana. Ada salah satu kemiripan antara Kang Jalal dengan Gus Dur. Mereka sama-sama kutu buku. Hidupnya tak pernah lepas dari buku. Mungkin itulah sebabnya Kang Jalal selalu punya cerita yang menarik ketika disampaikan di dalam ceramah-ceramahnya.
Saat ini, Kang Jalal mungkin tidak sefenomenal ustaz yang selalu tampil di layar kaca, apalagi dikenal oleh generasi yang gandrung dengan hijrah. Tetapi, keilmuannya dalam bidangnya komunikasi dan ilmu politik tidak bisa diragukan lagi. Ia salah satu cendekiawan muslim yang lahir di kalangan Nahdatul Ulama tetapi justru malah aktif dalam gerakan Muhammadiyah.Â
Sebagai kalangan minoritas, kini Kang Jalal pun mencalonkan lagi untuk yang kedua kalinya sebagai anggota legislatif dari salah satu partai pada Pileg 2019. Komitmennya memperjuangkan kalangan minoritas dan mustadh'afin mengantarkannya ke Senayan untuk  yang kedua kalinya.
Sosok seperti Kang Jalal dalam kacamata saya amat menarik. Ia begitu cerdas mengemas ceramahnya dari tempat yang satu dengan yang lain dengan sebuah cerita yang berbeda.Â
Lazimnya seorang penceramah Jum'at, pada umumnya sebagian penceramah hanya membuat satu teks naskah khutbah Jumat, tapi bisa digunakan berkali-kali, asal disampaikan di tempat yang berbeda dan jamaah yang berbeda.
Ada sebuah cerita dari Kang Jalal yang saya ingat sampai kini. Bagaimana sosok Kang Jalal ternyata bisa belajar dari seorang kakek tua yang pikun tapi menunjukkan rasa cinta yang besar terhadap Rasulullah SAW. Saat itu, Kang Jalal tidak begitu mengikuti tradisi Maulidan, layaknya warga Muhammadiyah.Â
Namun, sebuah kejadian mengubah persepsinya tentang Maulidan. Sosok yang diceritakan oleh Kang Jalal tersebut adalah tetangganya sendiri yang tidak berpendidikan dan sudah tua.Â
Suatu ketika, kereta api menyambar si kakek tua. Dalam keadaan sakaratul maut, orang yang dianggapnya tidak berpendidikan itu justru menunjukkan betapa cintanya kepada Rasulullah SAW. Ia meminta kang Jalal agar tak lupa memperingati maulid nabi.
Dari pengalaman spiritualnya itulah mungkin akhirnya Kang Jalal menelurkan sebuah buku Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (2007). Menurutnya, perbedaan yang ada di tengah masyarakat saat ini bukan sesuatu yang patut dipertentangkan, melainkan justru mempersatukan. Tidak ada persatuan jika tidak ada perbedaan.Â
Sebagai seorang cendekiawan muslim, sosok Kang Jalal adalah akademisi yang cerdas. Bahkan pendidikan masternya di Iowa State University mendapatkan predikat magna cumalude dengan IPK sempurna 4.0. Ditengah kesibukannya sebagai anggota dewan, ia kerap menyempatkan untuk mengisi pengajian rutin di tempat tinggal nya di Bandung di kawasan Kiaracondong.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H