Marah memang salah satu emosi yang dianggap negatif. Padahal, jika kita tahu bahwa semua emosi yang kita miliki pasti ada sebab musababnya.
Oleh karena itu, marah tidak melulu berkonotasi negatif. Ada kalanya marah memang diperlukan, asal bisa menempatkan secara adil.
Contoh sederhana, ketika keluarga kita dihina dan dipermalukan di depan umum, pantaslah kita marah membela keluarga.
Jika kompasiener pernah menonton salah satu film animasi Inside Out, digambarkan betapa emosi di dalam jiwa ini saling berkelindan. Jika seseorang menahan sedih karena tidak mau dianggap cenegeng, justru akan menjadi tekanan batin yang efeknya berdampak kepada kejiwaan.
Begitu pula dengan marah. Jika terbiasa memendam marah, ibarat seperti menunggu bom waktu meledak.Â
Jadi, marah pun harus jelas sebab musababnya. Tidak jelas juga jika marah tanpa sebab atau hanya karena salah paham, dan sebab sepele lainnya.
Beberapa pakar kejiwaan malah menyarankan untuk melampiaskan kemarahan lewat olahraga seperti berlari, berenang, atau meluapkan emosi yang tertahan pada aktivitas fisik yang nenguntungkan.
Artinya, marah juga sebetulnya bisa diatur. Terkait dengan bulan puasa seperti ini, tentu kita tidak bisa meluapkan kemarahan dengan olahraga.
Bisa juga sebetulnya diluapkan dengan cara lain yang tidak desktruktif atau merugikan orang lain. Kecuali memang sudah disediakan tempatnya.
Marah tetap harus dikeluarkan, tapi ada caranya. Tidak asal marah-marah lalu merusak atau melempar handphone misalnya. Apalagi sampai menyakiti orang lain.
Nabi SAW pernah mengajarkan cara mengendalikan marah. Jika kamu marah, maka duduklah, jika dalam posisi duduk, maka berbaringlah.Â
Bahkan ada juga yang menyarankan untuk berwudhu, segera salat, dan beristighfar.
Cara-cara dalam mengendalikan amarah bisa dicoba satu persatu. Yang jelas, setelah itu jangan sampai masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati. Jika ia, artinya emosi tersebut belum sepenuhnya dikeluarkan.
Untuk kesehatan mental dan jiwa. Jangan pernah memendam amarah. Apalagi jika orang yang dimaksud tidak paham bahwa kita sedang marah.
Misalnya saat seorang atasan sedang marah pada karyawannya. Dalam posisi demikian, agar si karyawan tidak merasa dipermalukan di depan umum, akan lebih bijak jika dipanggil secara personal.
Memarahi orang didepan umum jelas akan meruntuhkan harkat dan martabatnya. Jika yang dimarahu tidak terima dan menyimpan dendam justru malah bisa berakhir dengan pertumpahan darah.
Oleh karena itu, bicara soal marah memang sepertinya sepele. Apalagi jika menyankut pribadi, personal. Tapi, jika sudah menyankut orang lain, perlu dipikirkan efeknya, dampaknya, akibatnya kepada orang lain dan lingkungan.
Maka, sebaik-baik obat marah adalah air wudhu. Karena setiap orang pun pasti memiliki batas kesabarannya.Â
Kita pun harus sadar dan jangan memancing orang untuk marah. Hal-hal kecil seperti menyerobot antrean, menyalip dan memotong jalan di jalanan kerap kali mennadi sebab kemarahan orang lain dan berujung keributan.
Untuk itu, momen puasa ini memang tepat. Bukan ajang latihan menahan lapar dan haus saja, tetapi juga bisa dijadikan ajang latihan untuk menahan amarah dan melampiaskannya secara positif sehingga tidak ada yang dirugikan. Karena semua kesalahpahaman, sebetulnya bisa dibicarakan dengan baik dan kepala dingin.
Semoga dengan semangat puasa Ramadan, kita tidak hanya melatih kesabaran, tetapi juga melatih emosi agar tidak meletup-letup.
Outputnya, mudah-mudahan kita semua bisa mengikuti teladan Nabi SAW yang dikenal santun, ramah, sabar, dan berakhlakul karimah sehingga efeknya bisa dirasakan oleh lingkungan terdekat mulai dari keluarga, tetangga, teman hingga masyarakat luas. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H