Nabi SAW pernah mengajarkan cara mengendalikan marah. Jika kamu marah, maka duduklah, jika dalam posisi duduk, maka berbaringlah.Â
Bahkan ada juga yang menyarankan untuk berwudhu, segera salat, dan beristighfar.
Cara-cara dalam mengendalikan amarah bisa dicoba satu persatu. Yang jelas, setelah itu jangan sampai masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati. Jika ia, artinya emosi tersebut belum sepenuhnya dikeluarkan.
Untuk kesehatan mental dan jiwa. Jangan pernah memendam amarah. Apalagi jika orang yang dimaksud tidak paham bahwa kita sedang marah.
Misalnya saat seorang atasan sedang marah pada karyawannya. Dalam posisi demikian, agar si karyawan tidak merasa dipermalukan di depan umum, akan lebih bijak jika dipanggil secara personal.
Memarahi orang didepan umum jelas akan meruntuhkan harkat dan martabatnya. Jika yang dimarahu tidak terima dan menyimpan dendam justru malah bisa berakhir dengan pertumpahan darah.
Oleh karena itu, bicara soal marah memang sepertinya sepele. Apalagi jika menyankut pribadi, personal. Tapi, jika sudah menyankut orang lain, perlu dipikirkan efeknya, dampaknya, akibatnya kepada orang lain dan lingkungan.
Maka, sebaik-baik obat marah adalah air wudhu. Karena setiap orang pun pasti memiliki batas kesabarannya.Â
Kita pun harus sadar dan jangan memancing orang untuk marah. Hal-hal kecil seperti menyerobot antrean, menyalip dan memotong jalan di jalanan kerap kali mennadi sebab kemarahan orang lain dan berujung keributan.
Untuk itu, momen puasa ini memang tepat. Bukan ajang latihan menahan lapar dan haus saja, tetapi juga bisa dijadikan ajang latihan untuk menahan amarah dan melampiaskannya secara positif sehingga tidak ada yang dirugikan. Karena semua kesalahpahaman, sebetulnya bisa dibicarakan dengan baik dan kepala dingin.
Semoga dengan semangat puasa Ramadan, kita tidak hanya melatih kesabaran, tetapi juga melatih emosi agar tidak meletup-letup.