Propaganda komunis dan hoax ternyata sukses meraup suara para swing voters di Amerika Latin. Ini yang justru perlu diwaspadai oleh kubu petahana. Karena upaya untuk menjual isu komunisme di akar rumput masih sangat kencang, apalagi dengan isu Jokowi anti Islam serta serangan hoax-hoax lainnya kepada pemerintah.
Swing voters harus diingatkan kembali beberapa bencana hoax yang diusung oleh Prabowo termasuk Fadli Zon yang aktif mencuit di sosial media.
Sebagus apapun prestasi Jokowi, tetap akan bisa diruntuhkan dengan berita hoax yang masif yang disebarkan secara cepat bak virus lewat jejaring sosial hingga aplikasi percakapan instan.
Tengok saja video Jokowi ketika membagikan amplop. Video ini sengaja diputarbalikkan faktanya seolah Jokowi melakukan money politics saat masa kampanye.
Padahal fakta yang sebenarnya, video tersebut adalah video pada bulan Maret 2015 di Ngawi, Jawa Timur. Staf Kepresidenan pun sudah membantah video tersebut dikaitkan dengan politik uang.
Framing seperti inilah yang meruntuhkan prestasi serta jerih payah kepemimpinan Jokowi selama 4 tahun ke belakang.
Pada akhirnya pemenang memang ditentukan oleh suara terbanyak, bukan dari cara paling sehat dan bersih. Apapun tentu akan dilakukan demi meraup kekuasaan meskipun harus menggoreng kembali isu SARA seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017.
Mimbar masjid perlu disterilkan dari upaya-upaya memprovokasi umat. Apalagi sudah mulai terdengar upaya mengaitkan "si penista" agama dengan Jokowi. Jargon-jargon inilah yang akan digunakan kembali untuk menggembosi suara petahana.
Maka, salah satu yang perlu dilakukan adalah segera lupakan puisi Fadli Zon. Jangan biarkan energi terkuras gara-gara sosok congkak yang menampik sekadar menghaturkan permohonan maaf.
17 Februari 2019 sudah di depan mata. Inilah saatnya mengkonfirmasi kembali terutama bagi para swing voters bahwa kejahatan hoax di depan mata itu memang nyata.
Mereka sedang membangun narasi hoax serta ujaran kebencian untuk meruntuhkan citra dan prestasi lawan.