Kisah-kisah tentang kebohongan di zaman Rasulullah SAW amat berbeda dengan sandiwara kebohongan yang digunakan untuk kepentingan tertentu. Saya yakin kisah tentang Rasulullah SAW yang pernah "berbohong" karena demi menyelamatkan nyawa seseorang sudah beberapa kali dituliskan.
Saya pun masih ingat, kisah tentang Rasulullah SAW yang "berbohong" ini saat diceritakan oleh guru saya di bangku sekolah. Rasulullah SAW melakukan "kebohongan" kecil demi kebaikan dan bukan demi kepentingan politik. Namun, kisah ini tak lantas melegitimasi bahwa berbohong itu dibolehkan.
Saat itu Rasulullah ditanya oleh sekelompok orang yang memburu seseorang. Padahal Rasulullah SAW tahu arah ke mana orang tersebut lari. Alih-alih memberikan informasi, Rasulullah justru melindunginya.
Dalam kondisi terdesak seperti ini amat sulit untuk mengambil sikap. Dalam posisi yang sama pun kita mungkin akan sulit menjawab apakah harus jujur atau malah sebaliknya. Tapi, bagi sesama manusia, pasti ada naluri untuk melindungi orang lain yang teraniaya, apalagi jika jiwanya sedang terancam.
"Ketika saya di sini (pindah tempat dari tempat semula), saya tidak melihat sosok yang Anda cari" kata Rasul menjawab pertanyaan sekelompok orang. Kira-kira begitulah cara Rasulullah SAW menyelamatkan nyawa orang lain. Sebetulnya Rasul tidak berbohong karena sudah berpindah tempat.
Namun, hanya satu kisah itu saja yang kita tahu bagaimana cara Rasul SAW menyelamatkan orang lain. Selebihnya, Rasul sangat benci pada sahabat yang berbohong. Termasuk kepada salah satu sahabat yang berbohong karena tidak ikut berperang.
Sahabat tersebut akhirnya dihukum oleh Rasul dengan cara dikucilkan dan tidak disapa oleh Rasul maupun sahabat lainnya selama 50 hari sebagai bentuk hukuman. Bahkan Rasul juga menambah hukumannya agar sahabat ini tidak bercampur dengan istrinya selama 10 hari terakhir.
Inilah sikap Rasul dalam mendidik sahabatnya yang berbohong. Kisah Kaab bin Malik yang tidak diajak bicara oleh Rasul ini adalah salah satu kisah bagaimana Rasul memperlakukan sahabatnya yang melakukan kesalahan.
Narasi kebohongan yang berulang-ulang dilakukan oleh kubu Prabowo inilah yang kini menjadi perbincangan. Bagaimana mungkin seorang capres yang diajukan berdasarkan ijtima ulama, justru menghalalkan segala cara dengan berbohong berulang kali.
Ulama adalah para pewaris Nabi. Ucapan dan tingkah lakunya menjadi teladan bagi masyarakat. Rasanya tidak akan masuk akal juga para ulama merekomendasikan sosok pemimpin yang berulang kali melakukan kebohongan kalau bukan atas dasar kepentingan politik semata.