Pernyataan Partai Demokrat baru akan fokus membantu kampanye Prabowo dan Sandi pada Maret 2019 mendatang punya beberapa tafsiran. Pertama, Demokrat punya kekhawatiran cukup beralasan bahwa suara partainya bisa turun pada pemilihan legislatif 2019 nanti. Kedua, Demokrat gamang apakah harus mengusung Prabowo atau merapat kepada Jokowi.
Pada pemilu 2009, Partai Demokrat memang sangat digdaya. Mencatatkan torehan suara hingga 20,85 persen. Jauh mengungguli Partai Golkar dan PDIP kala itu dengan perolehan suara hingga sekitar 21.7 juta suara. Sementara pada tahun 2014, Demokrat masih bisa berada dalam posisi 5 besar dengan perolehan suara 12,7 juta atau sekitar 10,19 persen.
Perolehan suara yang menurun ini tentu saja menjadi warning bagi Demokrat. Apalagi sosok SBY saat ini sudah tidak lagi menjabat posisi penting dalam pemerintahan.
Meski demikian, statusnya tetaplah sebagai seorang mantan presiden yang berhasil dipilih dalam pemilihan umum dalam dua periode berturut-turut pertama kalinya.
Bercermin pada tahun 2014, seharusnya posisi tawar Demokrat lebih tinggi jika melihat perolehan suara. Posisi Demokrat hanya terpaut beberapa persen saja dengan perolehan suara Gerindra, jauh lebih unggul dibandingkan dengan PKS (6,79 persen) dan PAN (7,59 persen).
Tapi tampaknya Demokrat juga belum begitu percaya diri akan memperoleh hasil yang sama pada 2019 nanti. Ditambah lagi Demokrat lambat bergabung dengan koalisi Adil Makmur.
Demokrat pun masih penuh dengan bayang-bayang kader-kadernya yang tersangkut kasus mega korupsi seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh hingga yang paling mengguncang adalah Anas Urbaningrum. Tidak mudah untuk memperbaiki citra yang sudah tercoreng.
Apalagi dalam tubuh koalisi, Demokrat seolah-olah berada dalam posisi seperti anak tiri. Malahan, belum apa-apa sudah ditagih janjinya untuk berkampanye memperjuangkan Prabowo dan Sandi. Kenapa bukan PKS atau PAN yang diduga sudah terima mahar politik amat besar dari Sandi?
Apa jawaban SBY?
Jawaban SBY sangat terukur dan terlalu berhati-hati, jika tidak mau disebut oportunis. Sikap SBY atau Demokrat ini dianggap seperti sikap setengah hati. Padahal, Demokrat sudah mendeklarasikan bergabung bersama PKS, PAN dan Partai Berkarya mengusung Prabowo dan Sandi pada pemilu 2019.
SBY berkilah bahwa saat dirinya menjadi calon presiden tidak pernah mengguyah-guyah ketua parpol untuk mengkampanyekan dirinya. Jadi, sikap Gerindra tersebut dianggap bukan gaya SBY saat mencalonkan diri sebagai Presiden.