Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demokrat Gamang, Demokrat Siap 'Ditendang' Koalisi Adil Makmur

20 November 2018   21:38 Diperbarui: 20 November 2018   21:59 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerindra vs Demokrat / idntimes.com

Pernyataan Partai Demokrat baru akan fokus membantu kampanye Prabowo dan Sandi pada Maret 2019 mendatang punya beberapa tafsiran. Pertama, Demokrat punya kekhawatiran cukup beralasan bahwa suara partainya bisa turun pada pemilihan legislatif 2019 nanti. Kedua, Demokrat gamang apakah harus mengusung Prabowo atau merapat kepada Jokowi.

Pada pemilu 2009, Partai Demokrat memang sangat digdaya. Mencatatkan torehan suara hingga 20,85 persen. Jauh mengungguli Partai Golkar dan PDIP kala itu dengan perolehan suara hingga sekitar 21.7 juta suara. Sementara pada tahun 2014, Demokrat masih bisa berada dalam posisi 5 besar dengan perolehan suara 12,7 juta atau sekitar 10,19 persen.

Perolehan suara yang menurun ini tentu saja menjadi warning bagi Demokrat. Apalagi sosok SBY saat ini sudah tidak lagi menjabat posisi penting dalam pemerintahan.

Meski demikian, statusnya tetaplah sebagai seorang mantan presiden yang berhasil dipilih dalam pemilihan umum dalam dua periode berturut-turut pertama kalinya.

Bercermin pada tahun 2014, seharusnya posisi tawar Demokrat lebih tinggi jika melihat perolehan suara. Posisi Demokrat hanya terpaut beberapa persen saja dengan perolehan suara Gerindra, jauh lebih unggul dibandingkan dengan PKS (6,79 persen) dan PAN (7,59 persen).

Tapi tampaknya Demokrat juga belum begitu percaya diri akan memperoleh hasil yang sama pada 2019 nanti. Ditambah lagi Demokrat lambat bergabung dengan koalisi Adil Makmur.

Demokrat pun masih penuh dengan bayang-bayang kader-kadernya yang tersangkut kasus mega korupsi seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh hingga yang paling mengguncang adalah Anas Urbaningrum. Tidak mudah untuk memperbaiki citra yang sudah tercoreng.

Apalagi dalam tubuh koalisi, Demokrat seolah-olah berada dalam posisi seperti anak tiri. Malahan, belum apa-apa sudah ditagih janjinya untuk berkampanye memperjuangkan Prabowo dan Sandi. Kenapa bukan PKS atau PAN yang diduga sudah terima mahar politik amat besar dari Sandi?

Apa jawaban SBY?

Jawaban SBY sangat terukur dan terlalu berhati-hati, jika tidak mau disebut oportunis. Sikap SBY atau Demokrat ini dianggap seperti sikap setengah hati. Padahal, Demokrat sudah mendeklarasikan bergabung bersama PKS, PAN dan Partai Berkarya mengusung Prabowo dan Sandi pada pemilu 2019.

SBY berkilah bahwa saat dirinya menjadi calon presiden tidak pernah mengguyah-guyah ketua parpol untuk mengkampanyekan dirinya. Jadi, sikap Gerindra tersebut dianggap bukan gaya SBY saat mencalonkan diri sebagai Presiden.

Bahasa ini bisa bermakna bahwa Prabowo saat ini tidak terlalu menarik untuk diusung sebagai calon Presiden oleh Demokrat. Toh saat itu, tanpa diminta pun beberapa ketua parpol yang merapat ke Demokrat akan dengan sendirinya mengkampanyekan SBY. Begitulah pikir SBY sehingga "pesan penting" darinya sepatutnya dijadikan contoh bagi Prabowo.

Jadi, sudah sepantasnya pula Gerindra bisa memahami cara dan gaya SBY saat memenangi pemilu periode keduanya saat itu yang berpasangan dengan Budiono.

Karena terus didesak dan merasa disudutkan, Demokrat pun akhirnya buka suara bahwa mereka baru akan memulai start mengkampanyekan Prabowo dan Sandi pada Maret 2019 mendatang.  

Agaknya kubu Prabowo pun sudah mafhum dengan tindak tanduk SBY dan Demokrat seperti itu. Demokrat tampaknya memang ingin lebih fokus dulu menjaring suara dalam Pileg sebelum Pilpres.

Tapi, masalahnya justru di situ. Dengan beberapa sindiran halus. Kubu Prabowo merasa bahwa start Demokrat untuk mengkampanyekan Prabowo dan Sandi pada Maret 2019 dianggap sudah terlambat.

Bahkan kubu Prabowo sesumbar jika tanpa dukungan Demokrat dan SBY pun perolehan suara Prabowo akan tetap meningkat setelah pileg. Jadi, ada tidaknya dukungan SBY dan Demokrat dianggap tidak terlalu memengaruhi kemenangan Prabowo yang sudah berada di depan mata, menurut penerawangan mereka.

Melihat ketidakharmonisan seperti ini Demokrat memang dituntut untuk lebih tegas lagi untuk mengalihkan dukungan mereka. Apakah tetap solid bersama Prabowo atau ikut bersama koalisi Jokowi Ma'ruf.

Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, bahwa hitung-hitungan terbaik untuk Demokrat saat ini adalah segera meninggalkan koalisi Adil Makmur dan bergabung dengan Jokowi Ma'ruf. Langkah ini bukan tanpa alasan. Pasalnya Sandiaga Uno sudah mengincar posisi kursi Presiden jika mereka menang nanti. Posisi yang seharusnya sudah diproyeksikan oleh Demokrat untuk mengusung putra mahkota mereka, AHY.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun