Kubu Prabowo seperti mulai kehilangan arah untuk menentukan strategi politiknya menghadapi siasat cerdas dari kubu Jokowi. Bahkan belum satu semester jadi santri pro-Islamisme, gelar ulama sudah disematkan pada Sandiaga Uno, bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo.
Entah apa alasan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid memberikan gelar Sandiaga Uno sebagai ulama. Meskipun Sandiaga dianggap ahli bisnis serta diklaim berakhlak luhur, gelar ulama tidak bisa serta merta disematkan begitu saja oleh individual.
Gelar sakral ini justru berasal dari umat yang memang mengakui ilmu agama seseorang serta tercermin lewat akhlaknya. Sosok ulama seperti Prof Ma'ruf Amin misalnya menempuh jalan panjang hingga umat mengakui sosoknya sebagai ulama berkharisma.
Pertanyaannya umat mana yang mengakui bahwa Sandiaga Uno adalah ulama? Ya, kalau sebatas umat 212 dua sih tak masalah. Mereka bebas memberikan gelar pada junjungannya itu.
Branding Sandiaga Uno yang kini jadi alim itu, tentu punya konsekuensi yang akan merugikan kubu Prabowo sendiri. Sejak awal pilkada DKI 2017, Sandiaga Uno diposisikan sebagai pemimpin muda, pebisnis sukses, ganteng dan digandrungi oleh emak-emak.
Branding ini sebetulnya sudah cukup kuat sejak pertarungan Pilkada DKI Jakarta. Jika Sandiaga tiba-tiba di-rebranding menjadi sosok alim demi menandingi Prof Ma'ruf Amin dalam waktu singkat, jelas terlalu dipaksakan.
Saya paham bahwa kubu Prabowo sedang kelimpungan untuk menentukan strategi yang tepat "menjatuhkan" Jokowi pada pertarungan Pemilu 2019. Prabowo boleh saja sesumbar jika Zulkifli Hasan (PAN) berhasil "menjatuhkan" petahana, BTP dari kursi nomor satu DKI Jakarta.
Posisinya kini jadi seimbang. Kubu yang menolak gerakan #2019GantiPresiden menyeruak. Mereka yang tadinya diam kini bergerak memblokade bandara demi mengadang para jurkam  #2019GantiPresiden menyebarkan kebenciannya ke beberapa daerah di tanah air.
Meminjam istilah Prof Jimly Asshiddiqie, mantan ketua MK, bahwa gerakan penolakan #2019GantiPresiden merupakan konsekuensi logis. Sah-sah saja jika terjadi gejolak. Namun, Jimly juga mengingatkan agar aparat bisa bersikap netral.
Langkah tersebut sebagai bukti bahwa Mardani Ali Sera dkk sedang kelimpungan dan berpikir keras bagaimana membawa gerakan #2019gantipresiden ini bisa lebih efektif pada pemilu 2019. Belum lagi dengan bukti-bukti spanduk jika #2019GantiPresiden ternyata didukung oleh ormas terlarang HTI. Makin terbaca arah #2019GantiPresiden akan ke mana.
Berkaca dari label ulama serta mandulnya #2019GantiPresiden, akan menjadi poin plus bagi Erick Thohir fokus untuk meraup suara millenials. Sosok Erick Thohir yang memang lekat dengan anak muda ini akan lebih mulus mendekati generasi millenials dengan caranya sendiri.
Erick Thohir diperkirakan akan menggandeng talenta muda lain seperti yang dilakukannya saat menggelar Asian Games 2018. Jelas, Erick akan lebih selektif karena Erick tak bisa lagi meminta bantuan Wishnutama yang belum berminat terjun ke politik.
Tapi, Erick punya banyak pilihan "amunisi". Sebut saja Addie MS, konduktor orkestra yang selama ini selalu berada di belakang Jokowi dan Ahok. Tentu Erick Thohir juga bukan anak baru dalam bisnis media. Erick Thohir punya sejumlah media radio yang masih lekat dengan anak muda meskipun kini medsos sudah sangat menggurita.
Erick Thohir paham betul apa yang perlu dilakukan untuk meraih simpati Millenials. Terbukti pembukaan Asian Games 2018 dengan aksi Jokowi menggunakan stuntman, berhasil tembus hingga viral sampai Korea Selatan. Marketing ala adventure dengan menyisipkan gaya-gaya K-pop sepertinya tetap akan digunakan oleh Erick Thohir dalam pertarungan Pemilihan Presiden 2019. Kita tunggu saja gebrakan lainnya dari Erick Thohir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H