Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Tanpa Ruang Seperti Seorang Pekerja Lepas

21 Juli 2018   11:32 Diperbarui: 21 Juli 2018   11:45 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bincang santai bersama founder Ikin School (dok.pribadi)

Awalnya juga saya merasa bingung dan bertanya-tanya, apa sih belajar tanpa ruang yang kini sedang dikembangkan oleh Ikin School di kawasan Telaga Kahuripan, Parung Bogor. Setelah berbincang dengan foundernya Bapak Ikin Ahmad Sodikin, secara sederhana saya jadi memahami bahwa belajar tanpa ruang itu sama seperti profesi pekerja lepas yang saya jalani. 

Belajar bisa dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. Dan ini yang juga dicita-citakan beberapa generasi milenial agar nantinya bisa bekerja tanpa dibatasi ruang dan waktu. Saya bisa menarik garis merah antara belajar di luar kelas dan bekerja di luar kantor. Kalau bekerja di luar kantor saja bisa, kenapa belajar di luar kelas tidak bisa?

Yuliana Shinta dan Ikin Ahmad Sodikin (dok.pribadi)
Yuliana Shinta dan Ikin Ahmad Sodikin (dok.pribadi)
Oh ya, IKIN ternyata singkatan dari Insan Karya Inisiatif Nusantara. Gagasan untuk membuat sekolah ini menurut Pak Ikin berawal dari kegelisahaannya selama menjadi kepala sekolah Tanah Tingal di kawasan Ciputat. Pak Ikin merasa harus melakukan sesuatu yang baru setelah 11 tahun bergelut dalam dunia pendidikan yang sama. 

Kegelisahan pak Ikin juga pernah saya rasakan. Hampir selama 9 tahun menjadi guru, saya merasa harus melakukan sesuatu yang baru. Cukup lama memang untuk memikirkannya hingga akhirnya saya memutuskan untuk menjadi seorang content creator. Pertimbangan saya sederhana aja sih. Saya suka menulis dan saya suka jalan-jalan hahaha. 

Apakah keputusan saya alih profesi itu tepat? Itu tergantung dari kacamata yang memandang. Setelah merenung selama beberapa bulan, saya sadar diri bahwa sepertinya saya kurang bahagia mengajar. Saya lebih bahagian menuangkan gagasan-gagasan saya dan menyampaikannya dalam bentuk tulisan. Lebih bebas dalam berekspresi.

Quote menarik di dinding kelas Ikin School (dok.pribadi)
Quote menarik di dinding kelas Ikin School (dok.pribadi)
Selain itu juga saya merasa berdosa karena selama ini saya hanya berprestasi untuk diri saya sendiri dan belum cukup banyak memberikan bimbingan dan arahan untuk murid-murid saya untuk jauh lebih berprestasi dan mampu mengembangkan diri sendiri setelahnya. Dari renungan-renungan itu bisa jadi salah satu quote di dinding kelas Ikin School di kawasan Telaga Kahuripan ini ada benarnya.

"If a child can't learn the way we teach. Maybe, we should teach the way they learn."

Sayangnya aturan di sekolah dan tuntutan silabus membuat saya terkekang. Saya kerap dikritik ketika membawa anak-anak belajar di luar ruang kelas. Saya melakukan hal tersebut karena saya sendiri memang bosan belajar di ruang tertutup. 

Ketika saya meminta anak-anak berinteraksi dengan "warga sekolah" sepertinya ada beberapa pihak yang kurang berkenan. Alasannya berisik dan membuat gaduh sekolah. Bagi mereka, belajar itu adalah duduk rapi di kelas, membaca buku, mengerjakan tugas, dan sukses mengerjakan berpuluh-puluh soal hingga lulus UN dengan nilai bagus dan diterima di PTN. 

Standar ideal seperti itu yang saat ini masih menjadi mindset di sebagian besar termasuk kalangan pendidik sendiri. Maka, ketika ada sekolah alam seperti Tanah Tingal, kemudian disambut dengan suka cita oleh beberapa orang tua yang sudah mulai paham bahwa belajar itu tak harus berada di ruang kelas. 

Mungkin Anda juga kenal siapa Butet Manurung yang mengajar baca tulis Orang Rimba di Jambi, Sumatera Utara. Atau mungkin Anda mengenal Risna Hasanuddin seorang pejuang literasi di Suku Arfak Papua yang tak tahan melihat anak-anak Papua dan Perempuan Papua buta huruf sehingga menjadi korban eksploitasi orang-orang pintar!

Mereka tak butuh kelas serba lengkap. Mereka memanfaatkan alam dan lingkungan sekitarnya. Tentu saja kita juga pasti sangat kenal kisah Ikal, Laskar Pelangi, yang bisa mengecap pendidikan hingga ke luar negeri di tengah keterbatasan.   

Bincang santai bersama founder Ikin School (dok.pribadi)
Bincang santai bersama founder Ikin School (dok.pribadi)
Inilah yang ditangkap oleh Ikin School. Anak-anak bisa belajar dengan bebas namun tetap dalam koridor aturan dan kurikulum nasional. Anak-anak bisa mengembangkan potensi akademiknya masing-masing di rumah atau di luar rumah tanpa harus bersekolah. 

Agar orang tua bisa mendapatkan jalur yang tepat sehingga anak-anak tetap bisa punya kesempatan bertarung di tingkat nasional dan perguruan tinggi, Ikin School menjadi jembatan dan fasilitator sehingga benar-benar memastikan anak-anak tak kehilangan haknya.

Mendengar kisah Ibu Yuliana Shinta, founder Edelweiss Edutour, yang sempat dipandang sebelah mata di mata keluarga besar karena kurang mahir dalam bidang eksakta pun menjadikan saya semakin yakin bahwa anak-anak yang dianggap kurang pintar di salah satu bidang bukan berarti bodoh. Bisa jadi kita, sebagai orang tua dan guru belum menemukan kekuatan dan kelebihan anak tersebut.

Beruntung kedua orang tua Ibu Yuliana Shinta melihat potensi bahasa yang menonjol pada diri anaknya. Berkat dorongan dari kedua orang tuanya, Ibu Shinta sampai bisa mendapatkan kesempatan magang di salah satu sekolah di Adelaide, Australia untuk melihat lebih dekat bagaimana cara Australia mendidik anak-anak mereka. 

ikin-school-2-5b52acce677ffb54892037d2.jpg
ikin-school-2-5b52acce677ffb54892037d2.jpg
Pengalaman mengecap cara Australia mendidik anak-anaknya itulah yang diadopsi oleh Ibu Yuliana Shinta ketika menjadi konsultan pendidikan dalam bidang Bahasa. 3 magic words; "tolong", "terima kasih" dan "maaf" inilah yang menjadi pondasi dasar anak-anak sebelum beranjak dewasa.

Betul jika ada cerita jika guru-guru di Australia akan lebih concern jika ada anak yang susah antre daripada anak yang belum bisa membaca atau belum bisa menghitung.

Yup, kita bisa lihat outputnya sendiri di Indonesia. Tata krama dan budi pekerti yang seharusnya sudah menjadi karakter anak-anak bangsa justru hilang saat mereka lulus dan memasuki dunia kerja. Mengapa? Karena orang tuanya pun tidak sinkron mendidik anak di rumah. 

Buktinya, ribuan SKTM ditemukan di Jawa Tengah dan beberapa daerah lainnya agar orang tua bisa memasukkan anaknya ke Sekolah Negeri. Mereka menggadaikan harga dirinya dan mempermalukan anaknya demi mendapatkan kursi di sekolah negeri. Sungguh miris!

Bincang bersama Ketapels di Telaga Kahuripan Bogor (dok.Ikin School)
Bincang bersama Ketapels di Telaga Kahuripan Bogor (dok.Ikin School)
Banyak hal yang diceritakan oleh Ibu Shinta bagaimana jurang pendidikan antara anak-anak Indonesia dengan negeri tetangga begitu dalam. Hal tersebut bisa terlihat saat Ibu Shinta membawa anak-anak dari Indonesia untuk belajar bersama di dalam kelas. Dalam soal penguasaan bahasa saja kita sudah kalah. Anak-anak Indonesia paham Bahasa Inggris secara pasif sementara anak-anak lain dari Malaysia dan Singapura sudah menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.

Bukan hanya muridnya saja, gurunya pun begitu, tutur ibu Shinta. Guru-guru dari Indonesia kerap kali membisu ketika diajak studi banding ke Sekolah lain di luar negeri. Meskipun mereka paham Bahasa Inggris, tapi tak ada keberanian untuk mengungkapkan pendapat karena takut salah, takut ditertawakan, takut dianggap bodoh ketika berbicara Bahasa Inggris.

Kompasianer Ketapels dan Blogger lain saat bincang bersama founder Ikin School (dok. Ikin School)
Kompasianer Ketapels dan Blogger lain saat bincang bersama founder Ikin School (dok. Ikin School)
Beberapa fenomena itulah yang ditangkap Ikin School dan Edelweiss Edutour sebagai masalah yang perlu dicarikan solusinya. Mereka hadir untuk memberikan formulanya. Dengan begitu, konsep home schooling benar-benar terukur, terarah dan dapat bersaing secara nasional maupun secara global. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh kedua anak Bapak Ikin Ahmad Sodikin dan Ibu Yuliana Shinta. Salah satu anaknya berhasil tembus UNJ jurusan tata rias sementara anaknya yang lain masih menempuh pendidikan di Johor Bahru, Malaysia.

Dari, hasil bincang-bincang itu, sepertinya saya perlu juga membuat lembaga yang bisa mengarahkan orang-orang yang berniat menjadi seorang pekerja lepas. Tertarik untuk berkolaborasi? 

Instagram Dzulfikar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun