Mereka tak butuh kelas serba lengkap. Mereka memanfaatkan alam dan lingkungan sekitarnya. Tentu saja kita juga pasti sangat kenal kisah Ikal, Laskar Pelangi, yang bisa mengecap pendidikan hingga ke luar negeri di tengah keterbatasan. Â Â
Agar orang tua bisa mendapatkan jalur yang tepat sehingga anak-anak tetap bisa punya kesempatan bertarung di tingkat nasional dan perguruan tinggi, Ikin School menjadi jembatan dan fasilitator sehingga benar-benar memastikan anak-anak tak kehilangan haknya.
Mendengar kisah Ibu Yuliana Shinta, founder Edelweiss Edutour, yang sempat dipandang sebelah mata di mata keluarga besar karena kurang mahir dalam bidang eksakta pun menjadikan saya semakin yakin bahwa anak-anak yang dianggap kurang pintar di salah satu bidang bukan berarti bodoh. Bisa jadi kita, sebagai orang tua dan guru belum menemukan kekuatan dan kelebihan anak tersebut.
Beruntung kedua orang tua Ibu Yuliana Shinta melihat potensi bahasa yang menonjol pada diri anaknya. Berkat dorongan dari kedua orang tuanya, Ibu Shinta sampai bisa mendapatkan kesempatan magang di salah satu sekolah di Adelaide, Australia untuk melihat lebih dekat bagaimana cara Australia mendidik anak-anak mereka.Â
Betul jika ada cerita jika guru-guru di Australia akan lebih concern jika ada anak yang susah antre daripada anak yang belum bisa membaca atau belum bisa menghitung.
Yup, kita bisa lihat outputnya sendiri di Indonesia. Tata krama dan budi pekerti yang seharusnya sudah menjadi karakter anak-anak bangsa justru hilang saat mereka lulus dan memasuki dunia kerja. Mengapa? Karena orang tuanya pun tidak sinkron mendidik anak di rumah.Â
Buktinya, ribuan SKTM ditemukan di Jawa Tengah dan beberapa daerah lainnya agar orang tua bisa memasukkan anaknya ke Sekolah Negeri. Mereka menggadaikan harga dirinya dan mempermalukan anaknya demi mendapatkan kursi di sekolah negeri. Sungguh miris!
Bukan hanya muridnya saja, gurunya pun begitu, tutur ibu Shinta. Guru-guru dari Indonesia kerap kali membisu ketika diajak studi banding ke Sekolah lain di luar negeri. Meskipun mereka paham Bahasa Inggris, tapi tak ada keberanian untuk mengungkapkan pendapat karena takut salah, takut ditertawakan, takut dianggap bodoh ketika berbicara Bahasa Inggris.