Dalam satu tahun kadang-kadang saya bisa pulang mudik antara satu hingga dua kali dari Pamulang ke Bandung. Sebetulnya jaraknya cukup dekat, tapi karena alasan berbagai hal, saya lebih memilih mudik atau pulang kampung pada saat liburan sekolah.
Nah, liburan panjang sekolah itu hanya berlangsung dua kali. Pertama pada saat Lebaran dan kedua pada saat libur tahun baru.
Baca Kalau Takut Tak Dapat THR, Jangan Jadi "Freelancer"!
Jujur, saya pernah punya pengalaman yang membuat kami sekeluarga trauma mudik dengan menggunakan travel dari Pamulang, Tangerang Selatan ke Bandung. Saat itu saya mudik setelah Natal jelang Tahun Baru.
Sengaja memilih setelah Natal dan sebelum Tahun Baru karena kami memang ingin menghindari kemacetan di Cikampek Bekasi yang saat ini masih dalam pembangunan tol serta LRT.
Saya lebih memilih menggunakan travel karena jarak dari rumah di Tangsel lebih dekat. Begitu juga dengan jarak dari pool travel di Bandung ke kampung pun lebih dekat.
Tapi, semuanya berbeda setelah kami merasakan tersiksa selama 12 jam berada di dalam sebuah travel yang AC-nya tidak dingin dan terjebak berjam-jam di jalan tol. Coba deh bayangin aja, saat itu saya membawa dua orang anak. Anak saya yang pertama sekitar 6 tahun dan yang kedua sekitar 2 tahun.
Waktu berangkat dari BSD, kebetulan memang pool terdekat di BSD, perjalanan tidak mengalami kendala dan cukup lancar melewati tol JORR. Namun, menjelang pintu tol Pondok Pinang, semuanya sudah berbeda.
Baca Uak Haji, Sosok yang Setia Membangunkan Warga saat Sahur
Sebetulnya saat itu saya memantau kemacetan melalui Google Maps. Titik merah berhenti di sekitar Cikunir. Sambil menghibur diri, saya pikir setelah itu bakal lancar. Ternyata prediksi saya salah.
Perjalanan dari Pondok Pinang hingga Cikunir yang sedianya bisa ditempuh dalam waktu satu jam malah menjadi 6 jam. Saat mendekati pintu tol Rambutan, dua orang penumpang di bagian belakang meminta turun dan balik arah.
Mereka sudah ketinggalan kereta. Dua orang penumpang seorang bapak dan anak perempuannya. Si Bapak cerita sengaja membeli tiket kereta dari Bandung ke Yogyakarata karena sudah kehabisan tidak mendapatkan tiket kereta dari Jakarta. Dengan menggunakan travel itulah ia berharap bisa mengejar jadwal kereta ke Jogja yang berangkat dari Bandung.
Saat itu juga kondisi saya sudah galau. Antara ingin pulang sama penasaran ingin melanjutkan perjalanan. Pasti penasaran kan kalau ada kemacetan itu apa sebenarnya penyebabnya.
Setelah mobil travel mau memasuki daerah Cikunir, salah seorang penumpang ibu-ibu minta berhenti sesaat karena sudah tak tahan ingin buang air kecil. Untung kami sekeluarga tidak kebelet ingin pipis.
Baca "Sahur on The Road" Berujung Tawuran, Siapa yang Diuntungkan?
Tapi, kedua anak saya sudah mulai rewel karena bosan selama 6 jam menunggu di kendaraan. Apalagi persediaan camilan sudah mulai menipis. Untunglah stok air minum masih cukup banyak.
Karena si sulung terlihat sudah kelaparan, mau tak mau saya terpaksa membeli mi instan seduh. Padahal saat itu saya lagi ketat memberikan mi instan. Untung pedagangnya tidak aji mumpung. Satu cup mi instan dijual Rp 10 ribu. Cukup rasional dalam kondisi yang sudah kelelahan.
Mobil travel benar-benar maju perlahan. Si sopir berusaha untuk bisa menyalip dari bahu jalan. Karena tidak ada pilihan. Semua jalur saat itu benar-benar padat, terkunci, dan tidak ada pilihan untuk putar balik. Jalan keluarnya hanya terus melaju dan keluar di gate paling terdekat.
Perjuangan ternyata belum selesai. Kemacetan dari Bekasi baru terurai setelah km 57.
Mau tahu enggak apa penyebab kemacetannya?
Jadi, banyak mobil-mobil yang sembarangan parkir di bahu jalan di sekitar Rest Area terutama di Rest Area 57. Seharusnya saat itu rest area sudah harus ditutup dan tidak boleh menerima kendaran lagi. Akhirnya karena berebut mau masuk rest area, menutup hampir 2 jalur jalan bebas hambatan yang seharusnya lancar.
Baca Kisah Kue Nastar yang Habis Sebelum Lebaran Tiba
Petugas kepolisian pun sepertinya kaget dan tidak menyangka jika volume kendaraan pada hari itu benar-benar padat. Kami pun bernafas lega setelah bisa melewati kemacetan. Rasanya itu benar-benar lega seperti orang yang menemukan oase di padang pasir.
Gara-gara pengalaman 12 jam di travel itulah kami sekeluarga tak pernah lagi menggunakan travel meskipun hanya ingin mudik ke Bandung. Bahkan ketika ditawari tumpangan oleh saudara pun saya lebih sering menolak karena benar-benar trauma merasakan kemacetan selama 12 jam.
Itu baru dari Jakarta ke Bandung. Tak bisa dibayangkan bagaimana korban Brexit yang terjebak sampai berhari-hari. Kebetulan salah satu teman kantor saya sempat menceritakan pengalamanya terjebak di Brexit.
Lebih parah dari yang saya alami. Bahkan, pedagang dan masyarakat sekitar benar-benar tak punya perasaan karena menjual minuman dan makanan dengan harga berkali-kali lipat. Sampai-sampai bensin saja dijual dengan harga antara Rp 25 ribu sampai dengan Rp 100 ribu perliter.
Alasan itulah yang berkali-kali menguatkan saya untuk mudik hanya dengan kereta api. Selain harganya tak jauh berbeda, anak-anak lebih nyaman menggunakan kereta api. Mereka juga bisa sekaligus berwisata dengan menggunakan kereta. Tahun kebetulan saya sudah mendapatkan tiket kereta api untuk pulang pergi dari Jakarta ke Bandung selama mudik Lebaran.
Nah, buat Anda yang memang ingin mudik, sebaiknya lebih bijak memilih transportasi yang nyaman terutama jika membawa anak-anak. Jangan sampai merasakan apa yang pernah kami rasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H